Kamis, 27 Mei 2021

CERPEN

 Citarum Harum 

Aku--yang pernah tinggal di Ujung Karawang, dan punya segenggam kenangan kelam di sana. Tak pernah berpikir untuk kembali, ke Ujung Karawang. Keluargaku hancur di tempat itu, menyisakan aku seorang diri.

Ayahku mati karena penyakit kudisnya, tak lama Ibuku juga mati karena gangguan sesak napas berkat pabrik batu bara dekat rumahku dulu, adikku satu-satunya juga ikut mati secara perlahan karena keracunan air minum yang diambil dari ujung sungai Citarum itu.

“Ning, Uwa sudah siapkan itu bekal buatmu nanti di jalan,” suara Uwa Imah bergema dari dapur. Uwa Imah dan suaminya, Uwa Bedil yang merawatku setelah tahu aku hidup sendiri dan mungkin dalam keadaan yang hampir mati juga. Mereka merawatku sampai sekarang. Menyekolahkanku hingga tamat sarjana Teknik lingkungan, dari salah satu Universitas swasta di Ibu kota.

“Iya, nanti Bening bawa, makasih Uwa,” Aku masuk ke dapur dan bergegas pergi untuk acara pembersihan Citarum besok pagi dalam program rutin sungai Citarum harum di Ujung Kerawang. Aku di arahkan untuk menginap di rumah salah satu warga demi menghemat waktu perjalanan.

Sudah beberapa bulan yang lalu, Aku bekerja di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Jakarta. Tadinya pekerjaanku hanya meneliti sample-sample air minum. Namun satu bulan, setelah Presiden mengeluarkan peraturannya No.15 tahun 2018 tentang Percepatan pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, aku dipindah tugaskan di Program Sungai Citarum harum. Yang mungkin Sekarang pekerjaanku akan bolak balik Jakarta-Karawang, demi terlaksana Citarum Harum dalam 7 tahun kedepan.

Hari sabtu pagi itu aku bersama beberapa teman Mahasiswa dari berbagai Universitas, anggota TNI dan warga sekitaran sungai Citarum Ujung Karawang melakukan acara bebersihan. Limbah plastik yang ditemukan lalu dikumpulkan dan dibersihkan untuk diolah kembali menjadi kerajianan oleh teman-teman Mahasiswa yang akan mengajari warga sekitar bagaimana cara mengolah limbah plastik yang setiap hari mereka lihat mengambang di bantaran sungai Citarum sekitaran rumah mereka. 

Sedangkan aku, selain ikut membersihkan aliran sungai Citarum di Ujung Karawang ini juga mengambil sample air pertamaku untuk diteliti nanti di kantor. Dari warna dan harumnya sudah bisa kuduga ini tak layak jika digunakan untuk mencuci bahkan untuk diminum sekalipun. Namun sayangnya 80% air minum untuk daerah Jakarta dan sekitarnya berasal dari sungai Citarum. Aku berdoa semoga kemalangan adikku yang mati secara perlahan karena keracunan dari air sungai ini tidak terulang oleh orang lain.

Teteh, nama panjangnya lucu ya, ada Citarumnya,” Celoteh bocah kampung sini membuyarkan lamunanku tentang sample air sungai yang hampir berwarna hitam ini. bocah kecil yang terlihat polos itu bisa membaca bordiran nama di kemeja seragam lapanganku. Bening Citarum, begitulah tertulis nama pemberian Almarhum Engkong.

“Oh iya dong, cantik ya nama Teteh,” aku tersenyum ramah menanggapi celoteh polos bocah yang mungkin baru bisa membaca itu. Dia mengangguk dan berlalu begitu saja.

Bicara soal nama aku jadi teringat Engkong yang mungkin punya harapan dari namaku, Bening Citarum. Seingatku juga Engkong suka bercerita tentang betapa beningnya Sungai Citarum saat beliau masih kecil. Bercerita begitu bahagianya berenang dan memancing ikan di sungai Citarum yang bening dan bersih. Memandang ikan-ikan yang berenang dari permukaan air. Dan hanya menyisakan kesedihan di penghujung masa tuanya, menyaksikan sungai Citarum yang dia ceritakannya dulu pernah indah sudah kini airnya berubah warna menjadi coklat kehitamaan dan ikan-ikan yang dulu mungkin terlihat jelas dari permukaan sekarang mungkin mati tertutup sampah dan limbah. Citarum berair bening yang pernah Engkong bicarakannya tak pernah Aku lihat.

 Sampai beliau meninggal di umur 67 tahun pun, keinginannya melihat sungai Citarum kembali bening tidak terlaksana, hanya tersisa doa dalam nama yang beliau berikan untukku. Bahkan mungkin akibat masalah-masalah lingkungan yang timbul dari sungai Citarum merenggut nyawa anak sulungnya, menantunya dan satu cucunya bahkan dirinya sendiri yang terkena infeksi penyakit kulit yang susah diobati karena penyakit Diabetes yang diidapnya juga. Infeksi penyakit kulit itu berawal dari air sungai Citarum yang sering dibuat mandi olehnya.

Mataku mulai basah, ketika mengingat kepergian keluargaku karena sungai ini, mungkin bukan sungainya, mungkin juga bukan airnya, tapi mungkin karena limbahnya yang mencemari air sungai Citarum. Yang salah bukan alamnya, yang salah manusianya yang tidak bertanggung jawab dengan lingkungannya.

“Bening, kemari sebentar, tolong kamu lihat ini!” salah satu anggota TNI yang memanggilku agak keras, yang membangunkanku dari lamunan. Aku bergegas untuk melihat apa yang terjadi lagi kali ini.

Yang kulihat pipa yang tadinya ditutup oleh semen beton ambrol dan mengeluarkan air limbah bewarna putih. Tak butuh waktu lama Aku langsung mengambil sample air limbah bewarna putih itu sebelum tercampur dengan pekatnya air sungai. Mencoba mengambil barang seadanya untuk menampung air limbah dari sisa pipa yang tidak ambrol. Dibantu beberapa anggota TNI, Aku berhasil mengambil bukti sample air limbah dari pipa pembuangannya.

“Padahal sudah kami beton semen itu pipanya, biar air limbahnya nggak keluar Teh, ternyata cuma bertahan beberapa bulan doang ya,” seorang warga mencoba menjelaskan kenapa pipa-pipa dari pabrik itu di sumpal dengan semen yang sudah mengeras. Rupanya warga sekitar sudah melakukan inisiatif terlebih dahulu untuk menjaga lingkungannya sebelum presiden mengeluarkan peraturannya untuk sungai ini, sungguh ide yang cukup membuatku kagum.

“Dari warnanya saya mungkin bisa menebak ini dari pabrikan kertas atau semacamnya,” aku mencoba mengambil kesimpulan sendiri dan dibenarkan oleh warga disini.

“Iya Teh, bener itu dari pabrik kertas itu,” Aku menghela nafas panjang, hampir tidak yakin dengan program Sungai Citarum Harum. Bagaimana bisa jika yang satu menjaga yang lain merusak, yang satu memelihara yang lain merusak. Satu pihak telah tersedar pentingnya menjaga lingkungan, yang satu hanya mementingkan kepentingannya.

“Bening, sekalian mau menyusuri sungai nggak, barangkali ada air limbah atau kita menemukan titik air limbah lainnya,” Aku mengangguk setuju, yang sudah diatas sampan sejak tragedi air limbah berwarna putih tadi. Dengan Bapak Suripto, salah satu anggota TNI angkatan Laut yang juga ikut membantu dalam program Sungai Citarum Harum.

Sampan belum melaju begitu jauh dari titik limbah dari pabrik kertas yang tadi, sekarang aku sudah menemukan limbah bewarna merah, yang aku tahu pasti ini adalah limbah dari sisa pewarnaan bahan tekstil.

“Kalo ini dari pabrik batik Teh, sudah ditegur warga sekitar sini, tetep aja belum diolah air buangannya, padahal dia sudah dapat pelatihan dari pemerintah tahun lalu bagaimana mengolah air limbahnya sebelum dibuang ke sungai,” warga yang mendayung sampan dengan Pak Suripto mencoba memberiku penjelasan.

“Kok tidak dilaporkan saja ke pemerintah lagi pak,” Aku mencoba memberi solusi kepada bapak itu.

“Aduh susah Teh, apalagi banyak warga kami juga yang sudah kerja disana, gantungin nasib jadi buruh disana, kalau kami ingin melapor mereka melarang. Katanya kalau pabrik ditutup atau bahkan mereka di berhentikan jadi buruh mau makan apa mereka Teh,” Aku bahkan Pak Suripto cukup terkaget dengan penjelasan bapak ini.

Loh, Pak Suheib harusnya tetap melapor, apalagi dengan adanya program Citarum Harum ini. Yang ngeluarin peraturan Presiden langsung loh Pak, kalau hanya kita-kita saja yang tersadar nggak akan tercipta Citarum Harum nantinya. Pikirkan juga anak cucu bapak yang mungkin akan terkena dampak dari air limbah di kemudian hari dari air Citarum yang tercemar ini Pak,” Pak Suripto mencoba memberi arahan kepada Pak Suheib tentang masa depan warga sekitar sungai Citarum ini, betapa pentingnya melaporkan hal tersebut.

“Tapi Pak, keluarga saya sudah meninggal disini, karena air limbah dan polusi dari pabrik-pabrik itu, yang mencemari air dan udara. Sisa saya seorang dan sangat ingin memperbaiki lingkungan ini, bagaimanapun saya terlahir di sini, sebelum ada korban selain keluarga saya, mari kita bersihkan sungai Citarum ini Pak,” sambil tersenyum, Aku mencoba menjelaskan bagaimana Keluargaku habis disini. Aku ingin Pak Suheib mengambil hikmah dari pengalaman hidupku yang tertinggal di sini.

Aku kembali mengambil sampel air limbah dengan hati-hati, takut berbahaya karena belum tahu apa yang tekandung di dalam air limbah berwarna merah itu. Memasukannya dengan hati-hati kedalam tas sample. Air limbah yang aku temukan bewarna merah dan putih, seperti bendera indonesia saja, tapi sayang itu dari air limbah ulah warga negaranya sendiri.

“Kita sepertinya tidak bisa lebih jauh lagi nih, soalnya di depan ada Pabrik batu bara, limbahnya bahaya banget. Saya nggak mau ambil resiko Pak, Teh,” Pak Suheib memberi kami peringatan.

“Yasudah lah. Kita kembali saja ya Bening,” Aku mengangguk setuju. Tanpa kusadari mataku masih sibuk mencari sebuah kampung dekat sana yang bersebrangan dengan pabrik batu bara, karena asap dari pabrik batu bara itu Ibuku mati. Ternyata sekian tahun masih bertahan juga pabrik itu, padahal sangat menganggu dan sudah memakan korban jiwa, sangat disayangkan.

“Jadi apa yang akan dilakukan oleh PUPR dengan hal ini Bening,” Pak Suripto menanyai langkah yang akan dilakukan oleh PUPR setelah aku menilik kenyataan di ujung sungai Citarum ini.

“Saya akan berkoordinasi dengan PUPR Jakarta, Bekasi dan Karawang, bila memungkinkan untuk membangun Instalasi Pengolahan air limbah Grey Water Bio Rotasi, untuk mengolah air limbah tadi menjadi air bersih yang bisa digunakan kembali untuk warga disekitar sini,” Aku menjelaskan hal ini secara detail, dan mungkin membawa kabar gembira untuk Pak Suheib.

“Iya, kita memang kurang air bersih Teh, banyak yang kudisan karena keseringan mandi pake air sungai yang kotor,” Aku tidak heran dengan kebiasaan warga disini yang mandi dengan air sungai yang kotor dan juga tidak asing dengan penyakit kudis itu sendiri, berbeda dengan Pak Suripto yang terbelalak kaget dengan penuturan Pak Suheib.

“Masa sih Pak? aduh..,” Pak Suripto hanya mengaduh mendengar kenyataan itu.

“Di sini sudah biasa Pak, Ayah saya juga mati karena kudisan,” aku mencoba menimpali penuturan Pak Suheib. Aku dan Pak Suheib tersenyum miris melihat Pak Suripto yang tiba-tiba bergidik ngeri sendiri.

“Semoga setelah kamu melapor tentang ujung Karawang sebagai ujung sungai Citarum ini dan bagaimana warganya bertahan hidup di sini dengan air limbah, bisa segera terbangun itu Instalasi Pengolarah airnya ya, saya cuma bisa bantu bersih-bersih tiap 2 minggu sekali, selebihnya warga sini yang menjaga dan warga pasti menunggu air bersih untuk hidup mereka yang lebih baik,”

Aku mengangguk dan mengamini di dalam hati untuk semoga yang yang Pak Suripto ucapkan.

“Semoga Pemerintah Daerah cepat dan tanggap dengan hasil laporan yang nanti akan saya buat Pak, jadi kita berjuang bersama-sama bukan hanya membuang limbah bersama-sama,”

Banyak harapan untuk Citarum yang mudah-mudahan bisa menjadi ‘Harum’ seharum namanya yang sudah tercatat sebagai sungai terkotor nomer 2 di dunia. Semoga semakin banyak dukungan dan banyak warga yang akan tersadar dengan kebersihan sungai Citarum. Aku Bening Citarum, berbangga untuk membantu perubahan Ujung Karawang dan Sungai Citarum bersama Program Citarum Harum. Salam peduli Lingkungan.

Kamis, 10 November 2016

PENGUMUMAN !

Holla pembaca Setia, saya mau kasih info aja nih buat kalian yang sudah pernah baca cerpen Jatuh hati sampai Sesederhana Air itu menyambung ceritanya(tapi saya acak ceritanya) hehehe. Akan ada lanjutannya, jadi di tunggu aja dan selamat merangkai alur dari satu cerpen ke cerpen lain...

Salam, Gemar Membaca

CERPEN

Sesederhana Air

CERPEN

Secuil Roti Tawar II

CERPEN

Secuil Roti Tawar I


Selasa, 27 September 2016

Cerpen

FICUS RACEMOSA

Puluhan jenis bunga tersebar dibumi ini.Setiap bunga memiliki musimnya untuk merekah indah, begitu juga dengan bunga Udumbara yang hanya mekar 3000 tahun sekali.Udumbara.
Lamabaian angin menyapa wajahku, pagi hari ini sungguh menentramkan jiwa. Kicau burung bersahutan dari gerombolan burung diranting pohon bambu dan itu sangat manis.

Cerpen

Jatuh Hati

Sinar rembulan perlahan terhapus dengan cahaya fajar, dengan perlahan menghiasi awan yang tersebar di langit luas. Menyinari bagian bumi yang aku pijaki. Hari ini, aktivitasku masih sama dengan sebelumnya, bangun lebih pagi dari siapapun yang ada di rumah, demi mengejar waktu yang selalu menguntit, mengingatkan suatu hal yang selalu aku lupakan.