Harapan belum berakhir (Part 2)
Di bale depan rumah kontrakan, aku dan
ka Herlin bersantai sambil menyantap bakso yang tadi dibelikan ka Herlin, kami
makan dalam diam.
Memang kebiasan kami untuk tidak membicarakan apapun dalam acara makan bersama. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bagaiman caranya aku menceritakannya kepada ka Herlin ?, ahh.. ini sangat menyulitkan, menghela nafas panjang. Lagi.
Memang kebiasan kami untuk tidak membicarakan apapun dalam acara makan bersama. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bagaiman caranya aku menceritakannya kepada ka Herlin ?, ahh.. ini sangat menyulitkan, menghela nafas panjang. Lagi.
“Hela
nafas mulu Bi ?, nggak enak baksonya ya ?, atau emang lagi nggak enak makan ?”,
tanya ka Herlin yang telah menuntaskan acara
makannya sendiri. Aku menggeleng. Pasrah. Aku harus menceritakannya malam ini,
ya, harus malam ini juga.
“Yaudah
buruan habisin, udah malam nih.. besok kamu sekolah kan ?”,
Aku langsung menaruh mangkuk yang masih
berisi setengah porsi bakso, aku memeluk lutut, menatap semangkuk bakso yang
aku acuhkan, terlalu takut untuk melihat ka Herlin. Atau mungkin terlalu takut
manatap kenyataan yang sebentar lagi akan terjadi.
“Loh,..
nggak di-“,
“Ka,
Bio mau ngomong, serius. Ini tentang masalah Bio, Bio mau terus terang sama
kakak, yang Bio anggap seperti kakak sendiri,”
Untuk pertama kalinya aku memotong
kalimat Ka Herlin.
“Dan
Bio berharap, kakak nggak ngejauh saat tahu apa yang terjadi sama Bio, kakak
bisa ngerti posisi Bio, bisa ngertiin orang yang nggak tahu diri ini kak..,”
Ka Herlin kaget, aku bisa melihat
perubahan air mukanya, karna aku sendiri sudah berani menatapnya saat ini. Aku susah
siap.
“Bio..,
Positive HIV/AIDS ka.. karna Bio, pernah jadi pemakai barang laknat itu...,”
Mataku terpejam, terlalu takut untuk
menatap seorag wanita yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri. Hatiku sakit,
sangat sakit, karna pengakuanku sendiri.
“Lanjutkan Bi...,”
Katanya, aku hanya bisa mendengarnya
berbicara. Ku hela nafas panjang lagi, sebelum akhirnya aku bercerita kembali.
“Kacau,
hidup Bio lagi kacau kak, Bio takut di jauhi teman-teman jika tahu Bio punya
penyakit ini, Bio takut nggak dapet pengakuan dimasyarakat degan virus ini. Sampai
terlalu takut untuk bilang ini ke kakak,”
Aku membuang nafas lega. Satu jeratan
tali sudah terlepas.
“Sejak
kapan kamu tahu kamu adalah pengidap HIV?AIDS ?”
Katanya dengan air muka yang tenang,
aku tahu dia mencoba membuatku nyaman dengan ketegangan yang aku ciptakan di
awal tadi.
“Saat
Bio mau mendonorkan darah ke Briant, teman Bio yang kehabisan darah karena menyayat tangannya terlalu dalam dan banyak,
dia lagi sakau. Test darah itu sekitar satu minggu yang lalu”
Kataku lemah, nyaris tak terdengar.
“Kakak
boleh liat hasil test darah kamu Bi,”
Tangannya tejulur menepuk pundakku,
mungkin dia ingin memberitahuku kalau aku bukan orang yang harus dia jauhi, dan
dia tetap ingin dekat denganku, biarpun ka Herlin tahu aku punya Virus yang
mematikan.
“Udah
nggak ada kak, Bio bakar tiga hari yang
lalu,”
Aku menyesal telah membakar hasil test
itu, karna kalut dan malu dengan virus ini.
“Yaudah,
besok kamu izin dulu ya sekolahnya, kakak juga besok nggak masuk kuliah deh
buat nemenin kamu ke suatu tempat. Dan disana semua ketakutan kamu akan
terjawab, masa depan kamu belum sirna, kamu masih bisa bersinar untuk diri kamu
sendiri atau mungkin untuk orang lain kalau aja kamu buka mata kamu. Virus itu
memang bersarang di tubuh kamu. Tapi bukan berarti virus itu bisa bunuh kamu
sekarang juga. Kamu masih punya waktu dan biarpun itu nggak banyak. Jadi gunainnya
dengan penuh semangat. Terus lakuin apa yang kamu bisa,”.
Aku mendongak menatapnya takjub,
benar-benar bersinar. Dia masih menerimaku dengan kekurangan ini, dia masih
ingin membantuku untuk keluar dari kekacauan yang aku buat sendiri.
“Kakak,
makasih buat semuanya.”
Kataku sambil menundu lagi.
“Orangtuanya
Bio kapan pulang ya ?, kakak mau bicara sama mereka boleh Bi,”,
“Nggak
tahu, mungkin besok, aku sampaian kepada siapapun yang ada di rumah besok pagi,”.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum
lebut.
Malam ini dunia gelapku mulai bersinar,
biarpun sedikit. Ada harapan yang terselip.
--
Setelah bicara dengan Ibu, yang baru
pulang dini hari. Aku dan ka Herlin memutuskan untuk pergi ke tempat yang
ditentukannya. Mengenai ibu, beliau menangis, menyesal telah memesarkanku dalam
kehancuran yang merenggutku juga. Beliau meminta maaf, hanya maaf yang terus
terrdengar dalam isakan tangisnya. Sejujurnya aku tak meyalahkannya sepenuhnya.
--
Di sini sekarang aku beridiri, di depan
rumah yang punya nama itu, Rumah sehat.
Kata ka Herlin, isi rumah ini adalah
orang-orang mengidap HIV/AIDS juga, sama sepertiku. Aku berpikir, untuk apa aku
ke rumah ini, untuk membagi kesedihanku dengan mereka juga atau untuk apa, aku
berpikir sendiri .
“Kamu
akan tahu sendiri saat masuk Bi,”.
Seperti tahu apa yang sedang aku
pikirkan ka Herlin menjawab.
---
Sampai di dalam, sungguh aku tidak menyangka,
mereka seperti orang sehat, sedang sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Dengan
dunia mereka sendiri, ada yang terpaku di depan Komputer, aku sibuk dengan
karya-karnyanya,dan ada yang sibuk menyambutku dengan ramah.
Aku langsung merasa nyaman dengan
lingkungan rumah ini, dengan masyrakatnyaa juga. Mereka menerimaku dengan baik.
Aku bahagia ada disini.
Ka Herlin tersenyum menepuk pundakku
pelan.
“Sekarang
ini adalah keluarga baru kamu, balik kesini kapan pun kamu mau Bi, nggak ada yang
ngelarang kamu buat masuk dan berkarya disini. Hidup dengan bahagia disini,
jangan berpikir dunia kamu berakhir. Karna disini kamu akan menemukan harapan
yang pernah kamu buang, harapan itu belum berakhir,”
Katanya sambil terus menepuk-nepuk
pundakku.
“Iya
kak, dunia Bio ternyata belum berakhir, ternyata Bio masih punya harapan dan
masih bisa terus berharap dan teus bermimpi,”
THE END.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar