Selasa, 28 April 2015


Harapan belum berakhir  (Part 2)

Di bale depan rumah kontrakan, aku dan ka Herlin bersantai sambil menyantap bakso yang tadi dibelikan ka Herlin, kami makan dalam diam.
Memang kebiasan kami untuk tidak membicarakan apapun dalam acara makan bersama. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, bagaiman caranya aku menceritakannya kepada ka Herlin ?, ahh.. ini sangat menyulitkan, menghela nafas panjang. Lagi.

         “Hela nafas mulu Bi ?, nggak enak baksonya ya ?, atau emang lagi nggak enak makan ?”,
 tanya ka Herlin yang telah menuntaskan acara makannya sendiri. Aku menggeleng. Pasrah. Aku harus menceritakannya malam ini, ya, harus malam ini juga.
          “Yaudah buruan habisin, udah malam nih.. besok kamu sekolah kan ?”,
Aku langsung menaruh mangkuk yang masih berisi setengah porsi bakso, aku memeluk lutut, menatap semangkuk bakso yang aku acuhkan, terlalu takut untuk melihat ka Herlin. Atau mungkin terlalu takut manatap kenyataan yang sebentar lagi akan terjadi.
“Loh,.. nggak di-“,
“Ka, Bio mau ngomong, serius. Ini tentang masalah Bio, Bio mau terus terang sama kakak, yang Bio anggap seperti kakak sendiri,”
Untuk pertama kalinya aku memotong kalimat Ka Herlin.
“Dan Bio berharap, kakak nggak ngejauh saat tahu apa yang terjadi sama Bio, kakak bisa ngerti posisi Bio, bisa ngertiin orang yang nggak tahu diri ini kak..,”
Ka Herlin kaget, aku bisa melihat perubahan air mukanya, karna aku sendiri sudah berani menatapnya saat ini. Aku susah siap.
“Bio.., Positive HIV/AIDS ka.. karna Bio, pernah jadi pemakai barang laknat itu...,”
Mataku terpejam, terlalu takut untuk menatap seorag wanita yang sudah aku anggap seperti kakak sendiri. Hatiku sakit, sangat sakit, karna pengakuanku sendiri.
“Lanjutkan  Bi...,”
Katanya, aku hanya bisa mendengarnya berbicara. Ku hela nafas panjang lagi, sebelum akhirnya aku bercerita kembali.

          “Kacau, hidup Bio lagi kacau kak, Bio takut di jauhi teman-teman jika tahu Bio punya penyakit ini, Bio takut nggak dapet pengakuan dimasyarakat degan virus ini. Sampai terlalu takut untuk bilang ini ke kakak,”
Aku membuang nafas lega. Satu jeratan tali sudah terlepas.
          “Sejak kapan kamu tahu kamu adalah pengidap HIV?AIDS ?”
Katanya dengan air muka yang tenang, aku tahu dia mencoba membuatku nyaman dengan ketegangan yang aku ciptakan di awal tadi.
          “Saat Bio mau mendonorkan darah ke Briant, teman Bio yang kehabisan darah karena  menyayat tangannya terlalu dalam dan banyak, dia lagi sakau. Test darah itu sekitar satu minggu yang lalu”
Kataku lemah, nyaris tak terdengar.
“Kakak boleh liat hasil test darah kamu Bi,”
Tangannya tejulur menepuk pundakku, mungkin dia ingin memberitahuku kalau aku bukan orang yang harus dia jauhi, dan dia tetap ingin dekat denganku, biarpun ka Herlin tahu aku punya Virus yang mematikan.
          “Udah nggak ada kak, Bio bakar  tiga hari yang lalu,”
Aku menyesal telah membakar hasil test itu, karna kalut dan malu dengan virus ini.
          “Yaudah, besok kamu izin dulu ya sekolahnya, kakak juga besok nggak masuk kuliah deh buat nemenin kamu ke suatu tempat. Dan disana semua ketakutan kamu akan terjawab, masa depan kamu belum sirna, kamu masih bisa bersinar untuk diri kamu sendiri atau mungkin untuk orang lain kalau aja kamu buka mata kamu. Virus itu memang bersarang di tubuh kamu. Tapi bukan berarti virus itu bisa bunuh kamu sekarang juga. Kamu masih punya waktu dan biarpun itu nggak banyak. Jadi gunainnya dengan penuh semangat. Terus lakuin apa yang kamu bisa,”.

Aku mendongak menatapnya takjub, benar-benar bersinar. Dia masih menerimaku dengan kekurangan ini, dia masih ingin membantuku untuk keluar dari kekacauan yang aku buat sendiri.

“Kakak, makasih buat semuanya.”
Kataku sambil menundu lagi.
“Orangtuanya Bio kapan pulang ya ?, kakak mau bicara sama mereka boleh Bi,”,
“Nggak tahu, mungkin besok, aku sampaian kepada siapapun yang ada di rumah besok pagi,”.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum lebut.

Malam ini dunia gelapku mulai bersinar, biarpun sedikit. Ada harapan yang terselip.
--
Setelah bicara dengan Ibu, yang baru pulang dini hari. Aku dan ka Herlin memutuskan untuk pergi ke tempat yang ditentukannya. Mengenai ibu, beliau menangis, menyesal telah memesarkanku dalam kehancuran yang merenggutku juga. Beliau meminta maaf, hanya maaf yang terus terrdengar dalam isakan tangisnya. Sejujurnya aku tak meyalahkannya sepenuhnya.
--
Di sini sekarang aku beridiri, di depan rumah yang punya nama itu, Rumah sehat.
Kata ka Herlin, isi rumah ini adalah orang-orang mengidap HIV/AIDS juga, sama sepertiku. Aku berpikir, untuk apa aku ke rumah ini, untuk membagi kesedihanku dengan mereka juga atau untuk apa, aku berpikir sendiri .
“Kamu akan tahu sendiri saat masuk Bi,”.
Seperti tahu apa yang sedang aku pikirkan ka Herlin menjawab.
---
Sampai di dalam, sungguh aku tidak menyangka, mereka seperti orang sehat, sedang sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Dengan dunia mereka sendiri, ada yang terpaku di depan Komputer, aku sibuk dengan karya-karnyanya,dan ada yang sibuk menyambutku dengan ramah.
Aku langsung merasa nyaman dengan lingkungan rumah ini, dengan masyrakatnyaa juga. Mereka menerimaku dengan baik. Aku bahagia ada disini.
Ka Herlin tersenyum menepuk pundakku pelan.
“Sekarang ini adalah keluarga baru kamu, balik kesini kapan pun kamu mau Bi, nggak ada yang ngelarang kamu buat masuk dan berkarya disini. Hidup dengan bahagia disini, jangan berpikir dunia kamu berakhir. Karna disini kamu akan menemukan harapan yang pernah kamu buang, harapan itu belum berakhir,”
Katanya sambil terus menepuk-nepuk pundakku.  
          “Iya kak, dunia Bio ternyata belum berakhir, ternyata Bio masih punya harapan dan masih bisa terus berharap dan teus bermimpi,”

THE END.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar