Harapan
belum berakhir (Part 1)
Malam Ini, langit begitu sepi.
Tanpa bintang atau pun bulan yang nampak dan udara pun terasa begitu dingin
menerpa kulitku. Menatap langit, aku seperti orang yang buta tanpa adanya
cahaya.
Aku terlalu takut berharap, di waktu gelap. Aku tak yakin bisa melihat semuanya dengan jelas saat semuanya terlihat remang. Seperti kehidupannku yang sedang kujalani saat ini, sedang diamabang kehancuran karena Virus yang sedang berkembang dalam darahku. Belum lagi dengan keadaaan ekonomi keluargku saat ini, tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya menunggu mati, atau mati sekarang juga dengan mengakhiri segalanya. Tak ada tempat yang bisa aku tuju saat ini, aku terlalu takut jika orang disekitarku akan menjauh saat mengetahuinya. Karna barang haram yang awalnya tak pernah terbesit untuk memakainya. Pergaulan yang salah di bangku SMK yang salah membuatku seperti ini, dari awal yang ingin coba-coba saja lalu menjadi pecandu dan sampai akhirnya Virus itu hinggap dan berkembang didarahku.
Aku terlalu takut berharap, di waktu gelap. Aku tak yakin bisa melihat semuanya dengan jelas saat semuanya terlihat remang. Seperti kehidupannku yang sedang kujalani saat ini, sedang diamabang kehancuran karena Virus yang sedang berkembang dalam darahku. Belum lagi dengan keadaaan ekonomi keluargku saat ini, tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya menunggu mati, atau mati sekarang juga dengan mengakhiri segalanya. Tak ada tempat yang bisa aku tuju saat ini, aku terlalu takut jika orang disekitarku akan menjauh saat mengetahuinya. Karna barang haram yang awalnya tak pernah terbesit untuk memakainya. Pergaulan yang salah di bangku SMK yang salah membuatku seperti ini, dari awal yang ingin coba-coba saja lalu menjadi pecandu dan sampai akhirnya Virus itu hinggap dan berkembang didarahku.
“Bio, ngapain disitu ?, mau hujan
tuh, banyak kilat, Turun Bi,” sosok wanita yang aku kagumi sebagai seorang
kakak, entah sejak kapan, Ka Herlin. Dia lebih tua dariku 3 tahun. Wanita
dewasa yang mampu membuatku nyaman, orangtuaku pun tak mampu membuatku nyaman
seperti apa yang aku rasakan saat dekat dengannya.
“Lagi memikirkan banyak hal tanpa
adanya cahaya kak, tuh persis langit yang lagi mendung. Atau lagi mikirin
gimana ya kalo Bio buta,” jawabku sambil menunjuk langit, sambil menerawang,
memikirkan segala kejadiannya yang mungkin saja terjadi.
“Dasar Ababil, nggak dimana-mana
sok Puitis. Turun Bi, nggak lucu kamu jatuh dari genteng. Mending ikut kakak
nih, mau makan baso. Ikut nggak ?,”
“Nggak, makasih kak. Tapi kalo
nemenin doang boleh. Nggak ada orang di rumah. Sepi”
“Boleh aja, turunlah. Malem-malem
di atas genteng kurang kerjaan banget. Hati-hati turunnya”
Benar-benar,
aku seperti mempunyai seorang kakak yang selalu memperhatikan gerak-gerik yang
aku lakukan, kadang kenyataan itu susah untuk aku terima, bagaimana bapak dan
ibu mencari kesenangan mereka sendiri diluar. Tanpa memikirkan aku, bagaimana aku tumbuh menajadi seorang remaja,
bagaimana dengan pendidikanku. Aku benar-benar seperti orang buta yang meraba
apapaun yang ada di depanku. Duniaku remang, jika ada kak Herlin, tapi tanpa
nasihat darinya aku hanyalah orang buta yang siap jatuh kapan saja lalu mati
dengan mengenaskan. Apa seharusnya kak Herlin harus tahu yang sebenarnya. Tentang
Test darahku di rumah sakit kemarin, karna kejadian keparat itu aku harus
menerima kenyataan ini. Berawal dari ingin mendonorkan darah untuk kawanku,
Brian yang kehabisan banyak darah karna kelakuan bodohnya saat sakau. Menyayat
tangannya terlalu banyak dikedua tangannya. Bagusnya saat itu aku hanya
menemaninya, aku sudah mempunyai tekad untuk mengakhiri semua kegelapan tentang
obat terlarang itu. Tapi pada kenyataannya aku sudah sangat terlambat, terlambat
saat aku mungkin saja tertular HIV/AIDS saat menggunakan jarum suntik yang sama
dengan saatu geng “DRUNK” yang semua anggotanya adalah pemakai narkoba, dan
saling membagikan narkobanya pada sesama anggota yang sedang tak bisa membeli
narkoba. Bagusnya lagi, kita tak saling mengenal, hanya saat itu saja kita
berinteraksi, dan menggunakan nama samaran. Agar terjaga identitas aslinya saat
mungkin saja dalam keadaan yang terdesak kami tertangkap oleh BNN atau
Polisi.
“Bi, bengong aja !, mikirin apaan
sih. Ampun deh.. lagi putus cinta kamu?” tegur ka Herlin,
“Nggak, Bio putus cinta ?, nggak
bangetlah kak, cewek itu rumit. Bio belum bisa memahami diri sendiri, apalagi
harus memahami orang lain. Mau ngapain kalo jatuh cinta, pacaran tapi
ujung-ujungnya kandas di tengah jalan” kataku asal.
“Iya bener, jangan bikin suatu
komitmen yang nggak bisa kamu jaga ya, belajar aja dulu. Tata masa depannya
dengan baik. Jika ada kesusahan tanya aja sama kakak Bi, oke ?” katanya
menyemangati.
‘Apa
masih bisa kak, dengan Virus ini ?,’ kataku dalam hati. Dan membalas perkataan
kak Herlin dengan senyum lemah.
Kak
Herlin nggak pernah tahu tentang pergaulanku, aku selalu tertutup tentang hal
itu. Aku mungkin nyaman dengannya karna banyak petuah yang ringan untuk aku bisa
terima. Kak Herlin tidak pernah
mempermasalahkan itu, anak Psikologi semester 2 di salah satu Universitas yang
terbaik di Ibu kota ini. Wanita yang baik dan lembut. Sempurna.
“Bengong mulu Bi, hati-hati
jalannya rame, jadi jangan meleng dan bengong” katanya saat kami masih terus
berjalan lebih lamban dariku, di bahu kanan jalan raya besar yang cukup ramai
tak jauh dari rumah kontrakanku dan kostan kak Herlin.
“Ceritalah sama kakak, kalo ada
masalah..” timpalnya lagi. Aku hanya tersenyum
“Mungkin belum waktunya kak,
masih belum siap untuk cerita ke siapapun” akhirnya aku menjawab.
“Tentang Orang tua ya pasti ?,
biarkan mereka hidup dengan gaya mereka sendiri Bi, tapi kamu harus buktiin
kemereka kalo kamu bisa hidup dengan baik tanpa kasih sayang dari mereka. Dan
buktiin kamu adalah keturunan yang baik dari pernikahan mereka. Buat mereka
bangga dan tersadar, ada kamu di tengah kesenangan mereka.” Katanya
lagi.membuatku benar-benar sangat tersentuh dengan nasihat kak Herlin. Ya, kak
herlin tahu semua tentang keluargaku, tapi tidak untuk pergaulanku.
“Iya kak, asal masih ada kak
Herlin yang nggak pernah bosen buat bikin Bio terus semangat” kataku tulus,
bukan maksud menggombal. Ini adalah sebuah penyataan seorang adik kepada
kakaknya. Hanya itu. Kak Herlin bagaikan seberkas cahaya yang mampu menerangi
sedikit kegelapan dalam hidupku. terkadang masih tertatih dan terus mencari
keterangan dalam gelap. Tapi aku tak pernah mendapatkannya. Duniaku hanya 2,
remang dan gelap.
“Berubahlah menjadi orang yang
lebih baik, saat kamu masih di kasih sebuah kehidupan, teruslah bersyukur.
Dengan cara memperbaiki diri di setiap waktunya”
“Pasti kak, Bio sedang berfikir
caranya gimana ?”
“Caranya ya jangan dipikirin tapi
dilakukan, bukan masalah caranya bagiamana, tapi kamu harus mencobanya”
Akhirnya sampai juga di tempat tukang bakso kesukaan kak Herlin. Aku
kembali berpikir, apapun yang aku hadapi sekarang bukan perkara mudah untuk
diselesaikan. Tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Orangtua yang sudah
membesarkanku, biarpun aku tumbuh tanpa adanya kasih sayang.
“Bi, apapun
masalah kamu. Bagi sama orang yang kamu percaya. Mungkin nggak sam kakak, tapi
bisa sama teman-temanmu mungkin. Kakak khawatir, jujur aja liat kamu
akhir-akhir ini terlihat banyak bengong, nggak banyak petingkah kaya kemarin-kemarin.
Yang jelas, apapun masalah kamu, kamu harus bagi sama orang yang kamu sangat
percaya, dan bisa kasih saran untuk mssalah kamu.”
Tandas kak herlin panjang lebar, setelah memesan 2 mangkuk baso. Padahal
dirikku sendiri tak yakin, virus itu bisa menular atau tidak dari saliva. Menghela
napas. Lagi. Bagaimana mungkin dia bisa menyarankan hal itu, jikalau Kak Herlin
tahu pergaulan teman-temanku, sedang diambang kehancuran, sama seperti aku. Terlintas,
aku mugkin bisa saja bercerita dengan kak Herlin. Ya, mungkin saja, setelah ini
aku harus bercerita. Entah bagaimana dia akan menerima tau akan membuangku
seperti sampah masyarakat.
“Kak, Bio di
bungkus aja. nggak enak makan disini” kataku lirih, sebenernya bukan itu yang
ingin aku sampaikan tapi aku menghindari sesuatu yang mungkin bisa saja
membuatku menularkan Virus berbahaya ini kepada orang lain. Cukup aku saja.
“Hmm” Hanya itu
yang bisa aku dengar, karna aku tak berani menatapnya, aku sedang memikirkan
bagaimana caranya aku menceritakannya masalah ini. Mungkin kuurungkan niatkuu
saja, atau mungkin, aku lakukan saja. Ya Tuhan, kenapa semua menjadi begitu
sulit untuk aku lakukan, semua serbah salah, dan memang selalu salah.
----
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar