Rabu, 22 April 2015

Harapan belum berakhir (Part 1)

Malam Ini, langit begitu sepi. Tanpa bintang atau pun bulan yang nampak dan udara pun terasa begitu dingin menerpa kulitku. Menatap langit, aku seperti orang yang buta tanpa adanya cahaya.
Aku terlalu takut berharap, di waktu gelap. Aku tak yakin bisa melihat semuanya dengan jelas saat semuanya terlihat remang. Seperti kehidupannku yang sedang kujalani saat ini, sedang diamabang kehancuran karena Virus yang sedang berkembang dalam darahku. Belum lagi dengan keadaaan ekonomi keluargku saat ini, tak banyak yang bisa aku lakukan. Hanya menunggu mati, atau mati sekarang juga dengan mengakhiri segalanya. Tak ada tempat yang bisa aku tuju saat ini, aku terlalu takut jika orang disekitarku akan menjauh saat mengetahuinya. Karna barang haram yang awalnya tak pernah terbesit untuk memakainya. Pergaulan yang salah di bangku SMK yang salah membuatku seperti ini, dari awal yang ingin coba-coba saja lalu menjadi pecandu dan sampai akhirnya Virus itu hinggap dan berkembang didarahku.
“Bio, ngapain disitu ?, mau hujan tuh, banyak kilat, Turun Bi,” sosok wanita yang aku kagumi sebagai seorang kakak, entah sejak kapan, Ka Herlin. Dia lebih tua dariku 3 tahun. Wanita dewasa yang mampu membuatku nyaman, orangtuaku pun tak mampu membuatku nyaman seperti apa yang aku rasakan saat dekat dengannya.
“Lagi memikirkan banyak hal tanpa adanya cahaya kak, tuh persis langit yang lagi mendung. Atau lagi mikirin gimana ya kalo Bio buta,” jawabku sambil menunjuk langit, sambil menerawang, memikirkan segala kejadiannya yang mungkin saja terjadi.
“Dasar Ababil, nggak dimana-mana sok Puitis. Turun Bi, nggak lucu kamu jatuh dari genteng. Mending ikut kakak nih, mau makan baso. Ikut nggak ?,”
“Nggak, makasih kak. Tapi kalo nemenin doang boleh. Nggak ada orang di rumah. Sepi”
“Boleh aja, turunlah. Malem-malem di atas genteng kurang kerjaan banget. Hati-hati turunnya”
Benar-benar, aku seperti mempunyai seorang kakak yang selalu memperhatikan gerak-gerik yang aku lakukan, kadang kenyataan itu susah untuk aku terima, bagaimana bapak dan ibu mencari kesenangan mereka sendiri diluar. Tanpa memikirkan aku,  bagaimana aku tumbuh menajadi seorang remaja, bagaimana dengan pendidikanku. Aku benar-benar seperti orang buta yang meraba apapaun yang ada di depanku. Duniaku remang, jika ada kak Herlin, tapi tanpa nasihat darinya aku hanyalah orang buta yang siap jatuh kapan saja lalu mati dengan mengenaskan. Apa seharusnya kak Herlin harus tahu yang sebenarnya. Tentang Test darahku di rumah sakit kemarin, karna kejadian keparat itu aku harus menerima kenyataan ini. Berawal dari ingin mendonorkan darah untuk kawanku, Brian yang kehabisan banyak darah karna kelakuan bodohnya saat sakau. Menyayat tangannya terlalu banyak dikedua tangannya. Bagusnya saat itu aku hanya menemaninya, aku sudah mempunyai tekad untuk mengakhiri semua kegelapan tentang obat terlarang itu. Tapi pada kenyataannya aku sudah sangat terlambat, terlambat saat aku mungkin saja tertular HIV/AIDS saat menggunakan jarum suntik yang sama dengan saatu geng “DRUNK” yang semua anggotanya adalah pemakai narkoba, dan saling membagikan narkobanya pada sesama anggota yang sedang tak bisa membeli narkoba. Bagusnya lagi, kita tak saling mengenal, hanya saat itu saja kita berinteraksi, dan menggunakan nama samaran. Agar terjaga identitas aslinya saat mungkin saja dalam keadaan yang terdesak kami tertangkap oleh BNN atau Polisi. 
“Bi, bengong aja !, mikirin apaan sih. Ampun deh.. lagi putus cinta kamu?” tegur ka Herlin,
“Nggak, Bio putus cinta ?, nggak bangetlah kak, cewek itu rumit. Bio belum bisa memahami diri sendiri, apalagi harus memahami orang lain. Mau ngapain kalo jatuh cinta, pacaran tapi ujung-ujungnya kandas di tengah jalan” kataku asal.
“Iya bener, jangan bikin suatu komitmen yang nggak bisa kamu jaga ya, belajar aja dulu. Tata masa depannya dengan baik. Jika ada kesusahan tanya aja sama kakak Bi, oke ?” katanya menyemangati.
‘Apa masih bisa kak, dengan Virus ini ?,’ kataku dalam hati. Dan membalas perkataan kak Herlin dengan senyum lemah.
Kak Herlin nggak pernah tahu tentang pergaulanku, aku selalu tertutup tentang hal itu. Aku mungkin nyaman dengannya karna banyak petuah yang ringan untuk aku bisa terima. Kak Herlin  tidak pernah mempermasalahkan itu, anak Psikologi semester 2 di salah satu Universitas yang terbaik di Ibu kota ini. Wanita yang baik dan lembut. Sempurna.
“Bengong mulu Bi, hati-hati jalannya rame, jadi jangan meleng dan bengong” katanya saat kami masih terus berjalan lebih lamban dariku, di bahu kanan jalan raya besar yang cukup ramai tak jauh dari rumah kontrakanku dan kostan kak Herlin.
“Ceritalah sama kakak, kalo ada masalah..” timpalnya lagi. Aku hanya tersenyum
“Mungkin belum waktunya kak, masih belum siap untuk cerita ke siapapun” akhirnya aku menjawab.
“Tentang Orang tua ya pasti ?, biarkan mereka hidup dengan gaya mereka sendiri Bi, tapi kamu harus buktiin kemereka kalo kamu bisa hidup dengan baik tanpa kasih sayang dari mereka. Dan buktiin kamu adalah keturunan yang baik dari pernikahan mereka. Buat mereka bangga dan tersadar, ada kamu di tengah kesenangan mereka.” Katanya lagi.membuatku benar-benar sangat tersentuh dengan nasihat kak Herlin. Ya, kak herlin tahu semua tentang keluargaku, tapi tidak untuk pergaulanku.
“Iya kak, asal masih ada kak Herlin yang nggak pernah bosen buat bikin Bio terus semangat” kataku tulus, bukan maksud menggombal. Ini adalah sebuah penyataan seorang adik kepada kakaknya. Hanya itu. Kak Herlin bagaikan seberkas cahaya yang mampu menerangi sedikit kegelapan dalam hidupku. terkadang masih tertatih dan terus mencari keterangan dalam gelap. Tapi aku tak pernah mendapatkannya. Duniaku hanya 2, remang dan gelap.
“Berubahlah menjadi orang yang lebih baik, saat kamu masih di kasih sebuah kehidupan, teruslah bersyukur. Dengan cara memperbaiki diri di setiap waktunya”
“Pasti kak, Bio sedang berfikir caranya gimana ?”
“Caranya ya jangan dipikirin tapi dilakukan, bukan masalah caranya bagiamana, tapi kamu harus mencobanya”
Akhirnya sampai juga di tempat tukang bakso kesukaan kak Herlin. Aku kembali berpikir, apapun yang aku hadapi sekarang bukan perkara mudah untuk diselesaikan. Tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Orangtua yang sudah membesarkanku, biarpun aku tumbuh tanpa adanya kasih sayang.
            “Bi, apapun masalah kamu. Bagi sama orang yang kamu percaya. Mungkin nggak sam kakak, tapi bisa sama teman-temanmu mungkin. Kakak khawatir, jujur aja liat kamu akhir-akhir ini terlihat banyak bengong, nggak banyak petingkah kaya kemarin-kemarin. Yang jelas, apapun masalah kamu, kamu harus bagi sama orang yang kamu sangat percaya, dan bisa kasih saran untuk mssalah kamu.”
Tandas kak herlin panjang lebar, setelah memesan 2 mangkuk baso. Padahal dirikku sendiri tak yakin, virus itu bisa menular atau tidak dari saliva. Menghela napas. Lagi. Bagaimana mungkin dia bisa menyarankan hal itu, jikalau Kak Herlin tahu pergaulan teman-temanku, sedang diambang kehancuran, sama seperti aku. Terlintas, aku mugkin bisa saja bercerita dengan kak Herlin. Ya, mungkin saja, setelah ini aku harus bercerita. Entah bagaimana dia akan menerima tau akan membuangku seperti sampah masyarakat.
            “Kak, Bio di bungkus aja. nggak enak makan disini” kataku lirih, sebenernya bukan itu yang ingin aku sampaikan tapi aku menghindari sesuatu yang mungkin bisa saja membuatku menularkan Virus berbahaya ini kepada orang lain. Cukup aku saja.
            “Hmm” Hanya itu yang bisa aku dengar, karna aku tak berani menatapnya, aku sedang memikirkan bagaimana caranya aku menceritakannya masalah ini. Mungkin kuurungkan niatkuu saja, atau mungkin, aku lakukan saja. Ya Tuhan, kenapa semua menjadi begitu sulit untuk aku lakukan, semua serbah salah, dan memang selalu salah.
----


TBC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar