Kamis, 10 November 2016

CERPEN

Sesederhana Air


          Riuh ramai kelas, Setelah Herlina membagikan hasil Psikotes tiga minggu yang lalu. Aku menerawang jauh balik kebelakang. Tiga minggu sebelum kertas hasil psikotes ini sampai ditanganku. Aku menunduk lesu, mungkin terlalu cepat saat aku menetapkan suatu hal, apalagi hal tersebut berkenaan dengan hati, tentang cinta pertama, tentang nama seseorang yang selalu aku sebut dalam do’a malamku tiga minggu terakhir.
            “Niska ?, bengong aja nih kamu,” kata Mayang yang membuatku tersadar dari dalam lamunan. Mayang adalah teman sebangku selama setahun terakhir, yang ternyata dia menyadari jika diriku tak begitu semangat seperti dirinya, Fatimah, Inatsan, Zashi, atau seperti Aal yang begitu antusias dengan hasil Psikotesnya yang sesuai dengan diri mereka masing-masing.
            “Berarti tadi dia kesini dong ?, udah baca Email keduaku belum ya?,” ujarku spontan tak memikirkan air muka kebingungan dari wajah Mayang.
            “Siapa Niska ?,” katanya penuh selidik.
            “Oh, nggak. Bukan siapa-siapa,” akhirnya sadar salah mencurahkan isi hatiku karna terlalu asik dengan pikiran sendiri.
            “Ih, gitukan. Nggak cerita-cerita ke aku. Tumben. Rahasia banget ya ?,” aku tersenyum tipis, lalu menganggukan kepala.
            “Maaf ya Mayang, aku belum bisa cerita,”
            “Nggak apa Nis, tapi jangan bengong aja, jangan bolak balik buka Email terus. Minggu besok kita udah UKK (Ujian Kenaikan Kelas). Kita udah jadi team selama satu tahun. Makasih ya. Kita pasti bisa lewatinnya bareng-bareng,” katanya panjang lebar sambil memeluk dan bersandar di lenganku. Aku tersenyum  saat melihatnya bergelayut manja di lenganku. Mayang adalah teman yang sudah sangat mengertiku selama setahun ini. Aku tersadar, sebentar lagi kita akan menaiki level yang lebih tinggi lagi, setelah bertempur sekali kali dengan ujian di ujung jalan kelas XI ini. Hanya bisa tersenyum miring, lagi.
            “SEMANGAT, Mpok ucilku,” aku mengecup puncak kepalanya setelah menyemangati Mayang  juga. Menganggap bahwa dia yang bertubuh lebih kecil dariku sebagai seorang kakak perempuan. Tentu dia lebih tua beberapa bulan dariku. Mayang beringsut bangkit dari bermanjanya.
            “SEMANGAT Nis, kita team !,” Mayang mengangkat tangan kanannya, bermaksud  mengajak untuk  tos. Tapi aku masih bergeming, sampai akhirnya dia menarik tangan kananku dengan paksa untuk sekedar membalas tos.
            “Iya ucil,” aku menggodanya, menyebut-nyebut nama Ucil. Aku tahu Mayang tak terlalu suka dengan panggilan itu. Dia hanya mendengus sebal lalu meninggalkanku, lebih memilih berbincang dengan dua sahabat karibnya dari SD, Inatsan dan Fatimah.
~O00O~
Herlina kembali menghampiri mejaku bersama Mayang. Sekertaris kelas kami itu memang tampak sibuk hari ini. Dia membagikan selembar kertas kecil berwarna Pink, itu kartu UKK. Dengan hadirnya kertas itu ditanganku membuatku semakin sadar, senin besok kita semua sudah mulai bertempur dengan LJK dan Soal. Benar-benar semakin nyata akan mengakhiri kelas XI ini. Aku menghembuskan nafas kasar, setelah mengambilnya dalam.
            “Niska?, gimana hasil psikotesnya. Dari tadi kok nggak bersuara sama sekali sama hasilnya,” suara Zashi menghentikan secara paksa aku yang sedang merenungi sesuatu. Mayang, Inatsan dan Fatimah ikut menoleh ke arahku yang sedari tadi sibuk dengan topik pembicaraan mereka, aku menatap Zashi lagi, setelah menataa Trio ucil itu sekilas. Mungkin karena pegal menengok kebelakang, Zashi memutar posisi duduknya jadi menghadapku dengan ekspresi gemas.
            “Bagus sih, 90% lebih gunaiin otak  kanan gue. Marah sama Percaya diri gue hampir imbang , itu jadi masalah gue. Dan gue males buat ngejelasinnya secara detail, ini baca sendiri, gue mau keluar dulu,” kataku dengan wajah dingin dan berlalu meninggalkan Zashi dengan air muka yang terkejut melihat perubahan sikapku yang tidak profesional ini. Aku mengusap wajahku kasar, salah meluapkan kekecewaan kepada orang yang seharusnya tak menerima perlakuan seperti itu. Aku jadi kesal sendiri, dengan sikapku akhir-akhir ini tidak bisa mnegkontrol mood yang lebih sering berubah-ubah, karena jatuh hati. Aku menarik napas dan membuangnya. Lagi. Menetralkan diri dari suasana hati yang sedang tidak menentu ini.
~O00O~
Aku masih termenung, diam sendiri dibalkon sekolah, merasakan angin petang yang santai. Melihat matahari yang sudah lebih rendah ke arah barat, dalam perjalanan untuk menerangi bumi bagian lain. Tiba-tiba saja, suara bel menggema di lorong sekolah, riuh senang juga terdengar dari empat kelas XI yang berjejer. Balkon sekolah mulai ramai, aku juga memtuskan untuk masuk kekelas, lalu meminta maaf kepada Zashi, tak seharusnya tadi aku bersikap seperti itu. Setelah aku masuk, mataku tertuju kepada Zashi yang sedang sibuk dengan barang-barang pribadinya di atas meja. Aku menghampirinya.
            “Zashi, maaf ya tadi suasana hati gue kurang,” aku menggedikan bahu, tahu Zashi akan mengerti. Dan benar saja, Zashi tersenyum berpaling dari laptopnya lalu menatapaku setelah memastikannya laptonya sudah mati. Lalu dia sibuk dengan loker mejanya, hendak ingin mengambil sesuatu. Dia tersenyum kembali, menampakan dua lesung pipi yang terlihat cantik. Lalu dia menyerahkan sebuah kertas, yang aku tahu itu hasil Psikotesku.
            “Iya nggak apa-apa, santai aja Nis, gue ngerti kok. Ini hasil Psikotes lo, makasih ya. Sukses Nis,” katanya masih dengan senyum yang mengembang indah, menambah nilai anggun darinya. Aku menerima kertas itu dengan senyum.
            “Niska, nanti kumpul MPK dulu ya, mau ngomongin MOPDB lagi. Sekarang udah rapat sama Guru, nggak Cuma dengan OSIS aja. jadi wajib dateng, oke.”
            “Oh oke, kumpul dimana Zas,” kataku sambil menyibukan diri dengan barang-brang yang hendak dimasukan kedalam tas.
            “Dimasjid Nis, ditunggu ya, gue duluan, bye,” setelahnya Zashi berlalu.
Ketikaku melihat pergelangan tangan kiri, menatap intens jarum-jarum jam yang menunjukan pukul 15.45. masih ada waktu untuk menyempatkan hadir rapat ditambah shalat ashar, rapat terakhir sebelum UKK. Aku menganggukan kepala. Tak masalah jika hadir.
 Menuruni anak tangga sambil bersenandung pelan, sedikit menghibur diri sendiri dari suasana hati yang tak menentu.
            “Hai Niska, ?,” suara bass dan sebuah tepukan di pundak memaksaku berhenti bersenandung. Zidan, teman laki-laki ku dari kelas X. Kata teman dekatku seperti Zashi, Inatsan dan Mayang, dia seperti menaruh hati kepadaku. Tapi menurutku itu tidak benar, aku hanya merasa dia menganggapku seorang teman, tak lebih. Memang dia sering sekali mengajakku keluar di hari libur atau sekedar menghantarku pulang. Tapi tak pernah dari satu pun tawarannya aku terima. Aku selalu menolaknya dengan cara yang halus, dan dia tidak bisa memaksaku lagi.
            “Langsung pulang atau-..” katanya menggantung, menunggu jawabanku.
            “Ada kewajiban berorganisasi Zid, yang kurang lebih dua tahun lalu gue ucapin di tengah lapangan pas Pengukuhan OSIS/MPK,” aku terenyum tepat di tangga terakhir. aku menoleh sebentar
            “Duluan ya Zid, Asslamualaikum,” kataku sambil terus berjalan, tidak sabar menunggu jawabannya. Saat ini aku sedang mencoba menjalankan perturan yang ada dalam islam tentang berdekatan dengan lawan jenis. Takut berdua-duan biarpun itu di tempat yang ramai, apalagi disekolahku sangat digalakkan peraturan tersebut, dilarang pacaran, dilarang berdua-duan, dan bla, bla, bla. Terlalu malas untuk memaparkannya satu persatu.
            “Ehm, Waalaikumsalam !,” serunya setelah beberapa saat aku berjalan menjauh. Aku sempat terkaget, karena kupikir dia tidak akan menjawabnya. Tetap kulangkahkan kakiku tanpa menoleh lagi. Baru beberapa langkah setelahnya, aku bertemu dengan Zashi yang sedang berbincang dengan Pak Hery Prabowo, pembina OSIS/MPK sekaligus guru Matematika jurusan IPS. Aku tak berniat untuk menghampiri mereka, takut menggangu urusan pembina dengan Sekertaris harian MPK itu. membelokan diri ke masjid, berlalu ketempat wudhu setelah membuka alas kaki. Sambil menunggu waktu ashar masuk. ingin  cepat rasanya menunaikan shalat ashar, lalu ingin cepat mengadu kepada Allah SWT, tentang apa yang aku rasakan, tentang cinta pertama yang rasanya sulit sekali dikendalikan, tentang perubahan hati tak menentu dan benar-benar salah tempat. Mendudukan diri diserambi masjid, memandangi jari-jari kaki yang masih basah karna air wudhu, ditambah dengan tetesan air wudhu dari wajah yang menetes bebas kebawah.
            ‘seandainya aku air, sepertinya yang sederhana. selalu mencari tempat terendah untuk pelabuhannya’.
            “Oi, bengong aja lu Nis, kenapa sih ?,” Reirin, dia datang yang selalu bisa membuatku tenang saat mendengar suaranya.
            “Nggak apa-apa, Rei.” Mencoba membohonginya.
            “Lu mau coba-coba buat bohongin gue?.” Katanya sambil melepas sepatunya,
            “Ehmmm, iya maaf. Gue emang nggak bisa bohongin lo,” tukasku akhirnya mengaku. Dia berkacak pinggang.
            “Tenang aja Nis, gue nggak akan kepo kok dengan laki-laki itu. sampai lu bener-bener cerita sendiri ke gue. Tanpa paksaan apapun,” dia menggerakan tangannya hampa di udara.
            “Gue wudhu dulu,” timpalnya lagi lalu melenggang pergi, aku menatap punggungnya sampai hilang di balik bilik tempat wudhu. Aku menatap langkah hampanya yang tak berbekas, lalu berkata dalam hati,
            ‘He different, make me always remind me to Allah SWT. I wish he could be my lovers forever till the end’
            ‘Jika kau ingin mendengarnya Rei...’ kataku dalam hati, berbicara pada jejak langkahnya.
Aku hanya ingin sesederhana air yang selalu mencari tempat terendah untuk pelabuhannya. Tak akan tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Apakah dia menjadi pelabuhanku atau tidak. Karena Allah SWT kapan pun bisa membolak-balikan hati hamba-Nya. Aku harus percaya hal itu, dan filosofi yang baru saja kutemukan untuk mengganti kekecewaanku karena cinta untuk pertama kalinya.

           




Tidak ada komentar:

Posting Komentar