Sesederhana Air
Riuh
ramai kelas, Setelah Herlina membagikan hasil Psikotes tiga minggu yang lalu.
Aku menerawang jauh balik kebelakang. Tiga minggu sebelum kertas hasil psikotes
ini sampai ditanganku. Aku menunduk lesu, mungkin terlalu cepat saat aku menetapkan
suatu hal, apalagi hal tersebut berkenaan dengan hati, tentang cinta pertama,
tentang nama seseorang yang selalu aku sebut dalam do’a malamku tiga minggu
terakhir.
“Niska ?, bengong aja nih kamu,”
kata Mayang yang membuatku tersadar dari dalam lamunan. Mayang adalah teman
sebangku selama setahun terakhir, yang ternyata dia menyadari jika diriku tak
begitu semangat seperti dirinya, Fatimah, Inatsan, Zashi, atau seperti Aal yang
begitu antusias dengan hasil Psikotesnya yang sesuai dengan diri mereka
masing-masing.
“Berarti tadi dia kesini dong ?,
udah baca Email keduaku belum ya?,” ujarku spontan tak memikirkan air muka
kebingungan dari wajah Mayang.
“Siapa
Niska ?,” katanya penuh selidik.
“Oh, nggak. Bukan siapa-siapa,”
akhirnya sadar salah mencurahkan isi hatiku karna terlalu asik dengan pikiran
sendiri.
“Ih, gitukan. Nggak cerita-cerita ke
aku. Tumben. Rahasia banget ya ?,” aku tersenyum tipis, lalu menganggukan
kepala.
“Maaf
ya Mayang, aku belum bisa cerita,”
“Nggak apa Nis, tapi jangan bengong
aja, jangan bolak balik buka Email terus. Minggu besok kita udah UKK (Ujian
Kenaikan Kelas). Kita udah jadi team selama satu tahun. Makasih ya. Kita pasti
bisa lewatinnya bareng-bareng,” katanya panjang lebar sambil memeluk dan
bersandar di lenganku. Aku tersenyum
saat melihatnya bergelayut manja di lenganku. Mayang adalah teman yang
sudah sangat mengertiku selama setahun ini. Aku tersadar, sebentar lagi kita
akan menaiki level yang lebih tinggi lagi, setelah bertempur sekali kali dengan
ujian di ujung jalan kelas XI ini. Hanya bisa tersenyum miring, lagi.
“SEMANGAT, Mpok ucilku,” aku
mengecup puncak kepalanya setelah menyemangati Mayang juga. Menganggap bahwa dia yang bertubuh
lebih kecil dariku sebagai seorang kakak perempuan. Tentu dia lebih tua
beberapa bulan dariku. Mayang beringsut bangkit dari bermanjanya.
“SEMANGAT Nis, kita team !,” Mayang
mengangkat tangan kanannya, bermaksud mengajak untuk
tos. Tapi aku masih bergeming, sampai akhirnya dia menarik tangan
kananku dengan paksa untuk sekedar membalas tos.
“Iya ucil,” aku menggodanya,
menyebut-nyebut nama Ucil. Aku tahu Mayang tak terlalu suka dengan panggilan
itu. Dia hanya mendengus sebal lalu meninggalkanku, lebih memilih berbincang
dengan dua sahabat karibnya dari SD, Inatsan dan Fatimah.
~O00O~
Herlina kembali menghampiri mejaku bersama Mayang. Sekertaris kelas
kami itu memang tampak sibuk hari ini. Dia membagikan selembar kertas kecil
berwarna Pink, itu kartu UKK. Dengan hadirnya kertas itu ditanganku
membuatku semakin sadar, senin besok kita semua sudah mulai bertempur dengan
LJK dan Soal. Benar-benar semakin nyata akan mengakhiri kelas XI ini. Aku
menghembuskan nafas kasar, setelah mengambilnya dalam.
“Niska?, gimana hasil psikotesnya. Dari tadi kok nggak bersuara sama
sekali sama hasilnya,” suara Zashi menghentikan secara paksa aku yang sedang
merenungi sesuatu. Mayang, Inatsan dan Fatimah ikut menoleh ke arahku yang
sedari tadi sibuk dengan topik pembicaraan mereka, aku menatap Zashi lagi,
setelah menataa Trio ucil itu sekilas. Mungkin karena pegal menengok
kebelakang, Zashi memutar posisi duduknya jadi menghadapku dengan ekspresi
gemas.
“Bagus sih, 90%
lebih gunaiin otak kanan gue. Marah sama
Percaya diri gue hampir imbang , itu jadi masalah gue. Dan gue males buat
ngejelasinnya secara detail, ini baca sendiri, gue mau keluar dulu,” kataku
dengan wajah dingin dan berlalu meninggalkan Zashi dengan air muka yang
terkejut melihat perubahan sikapku yang tidak profesional ini. Aku mengusap
wajahku kasar, salah meluapkan kekecewaan kepada orang yang seharusnya tak
menerima perlakuan seperti itu. Aku jadi kesal sendiri, dengan sikapku
akhir-akhir ini tidak bisa mnegkontrol mood yang lebih sering
berubah-ubah, karena jatuh hati. Aku menarik napas dan membuangnya. Lagi. Menetralkan
diri dari suasana hati yang sedang tidak menentu ini.
~O00O~
Aku masih termenung, diam sendiri dibalkon sekolah, merasakan angin
petang yang santai. Melihat matahari yang sudah lebih rendah ke arah barat, dalam
perjalanan untuk menerangi bumi bagian lain. Tiba-tiba saja, suara bel menggema
di lorong sekolah, riuh senang juga terdengar dari empat kelas XI yang
berjejer. Balkon sekolah mulai ramai, aku juga memtuskan untuk masuk kekelas,
lalu meminta maaf kepada Zashi, tak seharusnya tadi aku bersikap seperti itu.
Setelah aku masuk, mataku tertuju kepada Zashi yang sedang sibuk dengan
barang-barang pribadinya di atas meja. Aku menghampirinya.
“Zashi, maaf ya tadi suasana hati
gue kurang,” aku menggedikan bahu, tahu Zashi akan mengerti. Dan benar saja,
Zashi tersenyum berpaling dari laptopnya lalu menatapaku setelah memastikannya
laptonya sudah mati. Lalu dia sibuk dengan loker mejanya, hendak ingin
mengambil sesuatu. Dia tersenyum kembali, menampakan dua lesung pipi yang
terlihat cantik. Lalu dia menyerahkan sebuah kertas, yang aku tahu itu hasil
Psikotesku.
“Iya nggak apa-apa, santai aja Nis,
gue ngerti kok. Ini hasil Psikotes lo, makasih ya. Sukses Nis,” katanya masih
dengan senyum yang mengembang indah, menambah nilai anggun darinya. Aku
menerima kertas itu dengan senyum.
“Niska, nanti kumpul MPK dulu ya,
mau ngomongin MOPDB lagi. Sekarang udah rapat sama Guru, nggak Cuma dengan OSIS
aja. jadi wajib dateng, oke.”
“Oh oke, kumpul dimana Zas,” kataku
sambil menyibukan diri dengan barang-brang yang hendak dimasukan kedalam tas.
“Dimasjid
Nis, ditunggu ya, gue duluan, bye,” setelahnya Zashi berlalu.
Ketikaku
melihat pergelangan tangan kiri, menatap intens jarum-jarum jam yang menunjukan
pukul 15.45. masih ada waktu untuk menyempatkan hadir rapat ditambah shalat
ashar, rapat terakhir sebelum UKK. Aku menganggukan kepala. Tak masalah jika
hadir.
Menuruni anak tangga sambil bersenandung
pelan, sedikit menghibur diri sendiri dari suasana hati yang tak menentu.
“Hai Niska, ?,” suara bass
dan sebuah tepukan di pundak memaksaku berhenti bersenandung. Zidan, teman
laki-laki ku dari kelas X. Kata teman dekatku seperti Zashi, Inatsan dan
Mayang, dia seperti menaruh hati kepadaku. Tapi menurutku itu tidak benar, aku
hanya merasa dia menganggapku seorang teman, tak lebih. Memang dia sering
sekali mengajakku keluar di hari libur atau sekedar menghantarku pulang. Tapi
tak pernah dari satu pun tawarannya aku terima. Aku selalu menolaknya dengan
cara yang halus, dan dia tidak bisa memaksaku lagi.
“Langsung pulang
atau-..” katanya menggantung, menunggu jawabanku.
“Ada kewajiban
berorganisasi Zid, yang kurang lebih dua tahun lalu gue ucapin di tengah
lapangan pas Pengukuhan OSIS/MPK,” aku terenyum tepat di tangga terakhir. aku
menoleh sebentar
“Duluan ya Zid,
Asslamualaikum,” kataku sambil terus berjalan, tidak sabar menunggu jawabannya.
Saat ini aku sedang mencoba menjalankan perturan yang ada dalam islam tentang
berdekatan dengan lawan jenis. Takut berdua-duan biarpun itu di tempat yang
ramai, apalagi disekolahku sangat digalakkan peraturan tersebut, dilarang
pacaran, dilarang berdua-duan, dan bla, bla, bla. Terlalu malas untuk
memaparkannya satu persatu.
“Ehm,
Waalaikumsalam !,” serunya setelah beberapa saat aku berjalan menjauh. Aku
sempat terkaget, karena kupikir dia tidak akan menjawabnya. Tetap kulangkahkan
kakiku tanpa menoleh lagi. Baru beberapa langkah setelahnya, aku bertemu dengan
Zashi yang sedang berbincang dengan Pak Hery Prabowo, pembina OSIS/MPK
sekaligus guru Matematika jurusan IPS. Aku tak berniat untuk menghampiri
mereka, takut menggangu urusan pembina dengan Sekertaris harian MPK itu.
membelokan diri ke masjid, berlalu ketempat wudhu setelah membuka alas kaki.
Sambil menunggu waktu ashar masuk. ingin
cepat rasanya menunaikan shalat ashar, lalu ingin cepat mengadu kepada
Allah SWT, tentang apa yang aku rasakan, tentang cinta pertama yang rasanya
sulit sekali dikendalikan, tentang perubahan hati tak menentu dan benar-benar
salah tempat. Mendudukan diri diserambi masjid, memandangi jari-jari kaki yang
masih basah karna air wudhu, ditambah dengan tetesan air wudhu dari wajah yang
menetes bebas kebawah.
‘seandainya aku
air, sepertinya yang sederhana. selalu mencari tempat terendah untuk
pelabuhannya’.
“Oi, bengong aja
lu Nis, kenapa sih ?,” Reirin, dia datang yang selalu bisa membuatku tenang
saat mendengar suaranya.
“Nggak apa-apa, Rei.” Mencoba
membohonginya.
“Lu mau coba-coba
buat bohongin gue?.” Katanya sambil melepas sepatunya,
“Ehmmm, iya maaf.
Gue emang nggak bisa bohongin lo,” tukasku akhirnya mengaku. Dia berkacak
pinggang.
“Tenang aja Nis,
gue nggak akan kepo kok dengan laki-laki itu. sampai lu bener-bener
cerita sendiri ke gue. Tanpa paksaan apapun,” dia menggerakan tangannya hampa
di udara.
“Gue wudhu dulu,”
timpalnya lagi lalu melenggang pergi, aku menatap punggungnya sampai hilang di
balik bilik tempat wudhu. Aku menatap langkah hampanya yang tak berbekas, lalu
berkata dalam hati,
‘He different,
make me always remind me to Allah SWT. I wish he could be my lovers forever
till the end’
‘Jika kau ingin
mendengarnya Rei...’ kataku dalam hati, berbicara pada jejak langkahnya.
Aku hanya ingin sesederhana air yang selalu mencari tempat terendah
untuk pelabuhannya. Tak akan tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Apakah dia menjadi pelabuhanku atau tidak. Karena Allah SWT kapan pun bisa
membolak-balikan hati hamba-Nya. Aku harus percaya hal itu, dan filosofi yang
baru saja kutemukan untuk mengganti kekecewaanku karena cinta untuk pertama
kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar