Kamis, 10 November 2016

CERPEN

Secuil Roti Tawar II


Apa kamu tahu bagaimana rupa roti tawar ? aku rasa kehidupan cintaku sama dengan makanan yang satu itu. Jangan menganggapku aneh ya, tentu aku punya alasan tersediri untuk perumpamaan tersebut. Kehidupan cintaku awalnya polos seperti warna dominan di roti tawar original. Putih, tanpa ada noda sedikit pun. Secuil roti tawar bertabur meses aku ambil lagi untuk di ceritakan, banyak cerita dari secuil roti tawar kedua ini. Secuil roti tawar yang berisikan tentang memori masa remaja awalku dengan cerita cinta monyetnya. Ya, bagian ini bukanlah kisah cinta remajaku yang sudah berumur hampir 17 tahun, dan bukan pula kisah cinta orang dewasa yang banyak lika-liku, tapi ini cinta monyet biasa yang tidak tahu siapa yang meulai dan mengakhirinya. Aku “Cintanya” dia “Monyetnya” hahaha.
Cinta memang tidak selamanya berawal dari kesempurnaan. Dan cinta bukan berarti kita yang tertawa bahagia, melainkan kita yang merasa nyaman dan memberikan ketulusan untuk cinta yang juga membuat kita merasa nyaman. Maka itu kebahagian. Karena cinta bukan hanya sekedar melihat, namun juga dia yang butuh mendengar dan merasa.
Setelah mandi pagi, aku membereskan kamar, meletakkan buku-buku pelajaran dan beberapa komik juga novel kedalam rak dibawah meja belajar. Setelah itu terduduk di pinggir singgle bed yang sudah rapih pula, meraih handphone yang sudah terisi penuh batreynya. Melihat notification instagram yang muncul, Difana teman baikku dulu saat masih di kompleks, memfollow instagramku. Kami sudah lama tak berjumpa lagi setelah aku pindah rumah ke daerah perumahan sederhana  tepat di dekat tembok pembatas, perubahan yang sangat beda drastis, memisahkan si kaya dan si sederhana yang hidup berdampingan sebenarnya, namun mereka tak menyadarinya. Rumahku berlantai dua yang masih bisa melihat kehidupan kompleks yang jauh dari kata ramah dan melihat jalan utama perkampung yang selalu ramai oleh orang yang berlalu lalang. Difana sudah sangat berubah, aku pun begitu, dulu aku diajarkan bagaimana berpakaian seperti wanita normal bukan seperti wanita abnormal yang selalu menggunakan celana levis dan kaos oblong rumahan serta rambut di biarkan tercepol berantakan. Aku memang pernah menjadi anggota remaja masjid, tapi belum ada niatan kala itu untuk berhijab rapi, sudah ada kemauan namun belum ada tekad yang kuat untuk menggunakannya kala itu. Aku melihat-lihat koleksi foto Difana, dan mataku melebar saat menemukan sebuah foto Difana bersama seorang remaja lelaki seumuran yang tidak asing bagiku, dia Iki. Secuil roti tawarku semasa umurku yang baru beranjak belasan tahun. Sudah sekitar 5 tahun lamanya tidak pernah bertatap muka lagi setelah hari lalu tanpa basa-basi dia pindah ke Bandung. Dan tidak pernah bertemu lagi sampai saat ini. Aku penasaran juga dengan perubahan yang Iki miliki. Bagaimana dengan pipi chubynya itu, apa sudah menghilang dan berganti pipi berahang tegas atau belum. Mataku berbinar melihat dia tetaplah Iki yang dulu, berpipi chuby dan berbadan gempal, tetapi lebih kurus dibanding yang dulu. Laki-laki berdarah Padang dan Bandung itu tetaplah menawan. Aku tersenyum kecut saat mengingat dulu sempat merubah penampilanku deminya yang menganggapku sebagai kekasih hatinya tanpa ada pengutaraan isi hati sebelumnya. Lucunya lagi, sang Mama mengetahui hubungan yang tidak jelas kami. Beliau  hanya tersenyum saat tahu yang statusku satu-satunya teman baik yang Difana miliki di satu kompeks ini adalah kekasih hati anaknya yang statusnya sebagai sepupu Difana. Sering bertemu di rumah Difana, sering keluar bersama untuk sekedar nonton film atau untuk bersantai di cafe. Tanpa disadari, memori masa lalu terputar kembali. Aku tersenyum kecut, dia sosok pertama yang membuat jantungku berdegup kencang, dialah sosok secuil roti tawar di masa lalu yang harus siap aku ungkap. Masih ada rasa sakit, kita memulai kisah cinta monyet tanpa ada yang memulai, dan mengakhiri kisah cinta monyet itu tanpa ada yang mengakhiri juga. Kita sama-sama berjanji akan masuk MtsN untuk jenjang berikutnya tapi aku tak tahu jika ia memilih pindah ke Bandung dan memilih MTsN 3 Bandung dan aku tetap di tinggal di Bekasi dan melanjutkan sekolah di MtsN 42 Jakarta. Aku masih mengingat juga awal pertemuan kita setahun sebelum kisah cinta itu dimulai. Kisah cinta monyet itu dimulai dari, Difana mengajak Weekand saat itu untuk pergi bersama Ibunya yang mengadakan rapat mendadak, harus tetap berjalan di hari sabtu. Hari Sabtu adalah waktu Difana bersama sang Ibu untuk menghabiskan waktu bersenang-senang. Kita pergi ke Arion Mall untuk menemani Ibu Difana rapat. Di meja berbeda kita menghabiskan 6 potong donat dan 2 cangkir kopi. Sambil bersenda gurau melihat sebuah foto yang menampilkan 7 orang tertawa lepas, mereka adalah saudara sepupu Difana. Dia memperkenalkan satu-satu, aku memperhatikannya dengan seksama memastikan tak ada yang terlewat satupun dari pendengaranku.
“Nanti kita ke rumah ka Jovi yah, nanti di sana kita ketemu sama Kak Jovi, Mpi Devi, Ala, dan a’Iki. Nanti aku kenalin satu-satu deh ke kamu,” tutur Difana akhirnya sebelum sang Ibu memanggil kami dan pergi ke rumah Kak Jovi.
Setelah masuk ke dalam mobil dan beranjak dari parkiran Arion Mall. Aku membuka suara bertanya tentang dua orang remaja yang aku ketahui adalah kakak laki-laki dari a’Iki, ya seperti itulah Difana memanggilnya. Kata Difana, kedua kakak laki-laki Iki sudah jarang bergabung dengan mereka berlima, maklum mereka sudah ada yang kuliah dan sudah sibuk dengan kegiatan bersama remaja seusinya. Lebih memilih bergabung bersama teman sebayanya dari pada berkumpul berjam-jam dengan keluarganya.
Aku kembali tersadar dari ingatan masa lalu, aku bangkit dan membuka lemari. Mataku mengedar kesana kemari hanya untuk mencari sebuah kotak berukuran sedang berwarna pink, aku menemukannya dibagian bawah lemari, tersimpan rapi bersama buku UN SD 2010 dan UN SMP  2013. Aku  membuka kotak pink berisikan banyak sekali tiket film yang sudah aku tonton. Aku mengambil salah satu tiket yang bertuliskan “TOY STORY 3”  tertulis tanggal 27 Juni, hari Sabtu sekitar 5 tahun yang lalu. Mataku terpejam, masih dengan posisi berdiri mengingat memori masa laluku.
Sepanjang perjalanan saat itu Difana hanya menceritakan keempat saudaranya nanti yang akan di perkenalkan denganku. Dia berjanji akan memperkenalkanku, senyum terus tersungging di bibirnya. Kala itu aku tertular kebahagiaan melihat senyumnya mengembang tanpa henti, pasalnya sangatlah jarang melihat seorang Difana seriang ini.
Sesampainya dirumah Kak Jovi daerah perumahan Villa Nusa Indah, Difana keluar mobil lebih dulu dari pada aku dan Ibunya. Aku terdiam sebentar, menyadari sesuatu, Difana meninggalkanku. Seruan lembut Ibu Difana menyadarkan aku dari pikiran negative yang sempat hinggap tentang anak semata wayangnya. Aku keluar dari mobil dengan perlahan, diliputi rasa ragu yang luar biasa, takut-takut keluarga Difana tidak menyukaiku. Terlebih dengan saudara sepupu Difana, aku menghembuskan nafas sesaat sebelumnya sempat menahannya. Ibu Difana merangkulku, memang beliau sudah menganggapku seperti seorang kakak yang katanya memiliki hati yang lembut, penyabar menghadapi Difana yang egois luar biasa. Ibu tersenyum padaku, aku hanya membalasnya dengan senyum seadanya. Beliau membisikan kata agar aku tidak perlu cemas dengan keluarga Difana, aku hanya mengangguk kaku membalas bisikan tersebut. Tanpa sadar kami sudah melewati pintu gerbang, dan sudah mulai memasuki rumah berlantai 3 ini lewat pintu belakang dekat garasi. Hatiku berdegup kencang saat seorang wanita yang masih terlihat sehat di usianya yang sudah renta menanyakan siapa aku, dengan mantap Ibu berkata aku adalah anak angkatnya. Ternyata beliau Eyang Difana, Mamanya Ibu Difana. Hatiku menghangat mendengar apa yang dikatakan Ibu sebelumya. Eyang Difana mengelus puncak kepalaku, aku meraih tangannya lalu mengecup punggung tangannya tanpa di komando siapapun. Itu sudah menjadi kebiasaanku pada siapapun yang lebih tua aku temui, sebagai penghargaan atas ilmu yang beliau punya. Dia tersenyum, menawariku makan siang bersama namun aku menolaknya, aku masih terlalu kenyang dengan donat-donat tadi yang aku makan bersama Difana. Ibu menyuruhku ke lantai dua, dan beliau meminta seorang anak kecil kira-kira berusia 7 tahun untuk mengantarku ke atas dimana katanya Difana sudah ada di atas. Anak kecil yang sudah mengintaiku sejak aku baru memasuki ruang makan itu. Namanya Ala, aku tersenyum, dialah sepupu terkecil yang Difana miliki saat itu. Sesampainya diatas aku melihat sofa panjang di pajang di tengah lantai dua ini, aku melihat suara dan siluet tubuh Difana ricuh bermain dengan 2 orang lain di dalam kamar yang terbuka sedikit pintu kamarnya. Saat aku sibuk melamun ada sepasang suami istri keluar dari salah satu pintu kamar yang terletak di samping kamar yang aku yakini sebagai kamar saudara sepupu Difana. Aku menunduk, saat sepasang suami istri itu mendekat kearahku dan menanyakan siapa diriku pada Ala dan Ala menceritakannya dan aku hanya bisa tersenyum kikuk dan mengecup punggung tangan wanita yang masih terlihat muda itu yang ternyata Mama dari Kak Joi dan Devi dan juga melakukan hal yang sama pada seorang Bapak yang aku yakini adalah Papa Kak Jovi dan dan Devi. Mereka tersenyum seadanya dan berlalu begitu saja kebawah, aku kembali membuang nafasku asal. Ala menarik-narik tanganku untuk pergi ke kamar yang pintunya sedikit terbuka itu, dan aku tahu jika Difana berada disana. Aku melangkah dengan keraguan, takut menggangu acara mereka, saat aku menyembulkan kepalaku sedikit kekamr itu canda tawa terhenti seketika, Devi menatapku tak suka. Aku sudah tahu itu Devi dengan mengandalkan ingkatanku tadi. Yang ku ingat sebagai Kak jovi bangkit, dan tersenyum ramah, menanyakan namaku,
“Siapa namanya ? Aku Jovi” tuturnya ramah tamah, tersenyum. Aku membalas jabatan tangannya, tersenyum kikuk.
“Zahra kak,” kataku seadanya. Dia mengajakku beserta Ala untuk duduk di kasurnya dan dia mulai mengeluarkan PSPnya memberikannya padaku, Ala pun mengabil PSP miliknya sendiri dari Tas selempang yang tersampir sedari tadi di pundaknya. Aku menatap PSP itu dalam diam an tak melakukan hal apapun, aku melirik sekilas ke arah Difana yang masih saja asik mengobrol dengan Devi tanpa menghiraukan kehadiranku. Kak Jovi tetap memperhatiaknku, lalu mengajakku keluar kamar dan duduk di kursi panjang yang aku jumpai tadi, dia bertanya aku suka bermain apa di PSP, sudah pernah main PSP sebelumnya atau belum. Aku menjawab pertanyaannya yang singkat dan aku mulai hanyut dengan permainan Mario bros. Tanpa aku sadari Kak Jovi kembali kekamarnya dan kembali bergabung dengan kedua adiknya tersebut aku kembali termenung saat permainan itu usai, aku tak hobi bermain game, aku lebih suka mendengar cerita orang lain dan memberi masukan atau sekedar bertukar pikiran, memperbanyak aktifitas sosial dari pada harus menutup diri dengan tegnologi yang ada. Sampai pada akhirnya Ala menarik-narik ujung Dress merahku yang hanya sebatas lutut, dia tersenyum lucu menanyakan dimana aku membeli Dress ini dan Jaket Ferari warna merah yang kukenakan pada waktu itu. Aku hanya menjawab Dress ini diberikan Difana sebelumnya, lalu Jaket Ferari ini milikku sendiri oleh-oleh dari Disney Japan dari temanku di bangku SD, dia hanya beroh ria dan aku kembali termenung melihat arah jarum jam yang entah sejak kapan lebih menarik dari apapun yang ada disekitarku, bunyinya bagai obat penenang bagiku, jarumnya bergulir begitu pelan sampai aku bosan. Overdosis dengan bunyinya, aku menghela nafasku, sudah 4 jam aku habiskan di rumah ini, dan tak melakukan hal yang menarik, Difana bermain sendiri dengan kedua kakak sepupunya, aku lebih memilih bersama Ala yang sudah tertidur di atas pangkuanku dengan masih menggenggam PSP berwarna Pink soft itu. Kakiku terasa kebas, terlalu lama menopang kepala Ala yang lama-lama terasa berat juga. Aku mendengar derap peran seseorang menaiki anak tangga, mataku terus mengawasi siapa yang datang, saat seorang anak laki-laki yang tampaknya seumuran denganku datang dengan badan gempal dan berpipi chuby itu, dia pun menatapku bingung, dengan masih memperhatikanku dengan seksama dia terus berjalan ke arah pintu kamar Kak Jovi dan Devi yang terbuka. Menyembulkan kepalanya kedalam, aku mendengar dia berbisik pelan, entah apa yang dia bicarakan dengan ketiga saudara perempuannya itu. Aku memperhatikan jarum jam lagi, aku melepas perlahan jaket Ferari berwarna merah itu, takut membangunkan Ala yang masih betah tertidur di atas pangkuanku. Lelaki itu mendudukan dirinya di dekatku yang masih ada ruang kosong sedikit, mengulurkan tangannya dengan mempertahankan senyum ramahnya,
“Iki, siapa nama kamu ?’ katanya to the point. Aku membalasnya hanya dengan senyuman kikuk lalu menjawab dengan pelan.
“Zahra,” sambil menjabat tangannya. Dia melihat ke arah Ala yang mulai menggeliat namun kembali tertidur pulas lagi.
“Maaf yah, Ala suka begitu sama orang baru, karena 3 kakak perempuannya yang di dalam sana nggak terlalu suka dengan tingkahnya yang kadang agak nakal,” tuturnya pelan. Aku hanya mengagguk menginyakan memaklumi.
“Terus masalah Difana, dia bakalan lupa kalo dia bawa temen kesisni kalau udah gabung sama si Mpi Devi, mereka bakal lupa waktu juga. Maklumin sifat Difana yang satu itu juga yah,” aku kembali mengiyakan. Dia sangat mengenal sifat-sifat saudaranya.
“Kelas berapa Ra,” tuturnya lagi seperti memancingku untuk berbicara.
“Kelas 6 SD, Iki kelas berapa?,” kataku membalikan umpan pertanyaan, memcoba terbuka. Sepertinya dia sangat ramah, lebih ramah dibanding Kak Jovi dan Ala.
“Kelas 6 SD juga, wah udah UN dong ya,” katanya lebih antusias. Aku mengangguk mantap.
Aku tersenyum saat mengingat memori itu semua, pertemuan pertama kali, nonton bertiga dengan sang Mama lalu makan bersama juga dengannya dan sang Mama. Air mataku merembes keluar, Rindu akan cinta Monyetku yang tak pernah ku jumpai lagi. Perpishan yang tak pernah jelas kapan itu berakhir.
Aku kembali melihat koleksi fotonya yang lain dan mataku membulat untuk kedua kalinya, ada seorang remaja perempuan foto bersama Iki. Dan aku lihat captionnya itu adalah wanitanya, pacarnya bernama Salsa. Aku tersenyum miris. Ini double kejutan buatku di pagi menjelang siang ini. Hanya tak menyangka saja. Tiket itu aku remas dan kumasukan kemabali ke dalam kotak Pink itu dan memasukannya kembali ke dalam lemari. Aku merebahkan diriku di kasur. Keingintahuanku berlajut ke akun Instagram milik salsa, aku harus menunggu sampai dia mengizinkanku untuk menjadi pengikutnya. Tak butuh waktu lama notification dari akun IG Salsa mucul dan aku mulai menstalkernya, ada foto boneka  dan sebuket bunga mawar berwarna pink dengan Caption ‘31536000 Detik, 525600 Menit, 8760 Jam, 12 Bulan, 1 tahun, Happy Anniversary’. Aku hanya menganggukan kepalaku saja, melihat juga banyak foto tangkaian bunga mawar merah dan pink yang Salsa Post juga. Dan ada post terbaru dari Salsa, bunga mawar yang sudah layu namun masih ia simpan dan berfoto bersamanya, dengan caption ‘Biarpun mawarnya udah layu, cinta aku ke kamu nggak pernah layu,’ aku tersenyum lagi. Menyudahi keingintahuanku tentangnya. Dan berlalu meniggalkan Handphone ke arah balkon rumah dan temenung disana. Semilir angin manampar wajahku berkali-kali. Rambut panjangku berkibar-kibar entah menentu, membuatnya terlihat berantakan. Ingatan itu kembali berputar,
Saat pertama kali kita menonton Film Toy Story 3 dia menggenggam tanganku memperkenalkan aku sebagai kekasih hatinya kepada sang Mama yang adalah kakak dari Ibu Difana. Aku sempat menatapnya tak percaya, Sang Mama hanya menatap kita berdua jahil dan berkata,
“Oh jadi selama ini kamu ngerengek terus setiap Weekand kerumah Difana mau ketemu sama Zahra ya, dasar tengil baru lulus SD juga udah jatuh-jatuh cintaan. Anak Mama Udah mulai Remaja nih ye. Tapi emang Zahra mau jadi pacarnya Iki ?” perkataan Mama Iki mampu membuat jantungku berdegup kencang.
“Mama ih, jangan nanya gitu dong.” Iki merengek kepada sang Mama. Aku hanya terdiam sambil menyembunyikan wajahku yang sudah pasti memerah. Tawa renyah terdengar.
Air mataku merembes kembali mengingatnya yang sudah lama aku tak berjumpa, berkomuikasi lewat Sosial media pun tidak pernah. Aku sudah lama melupakannya namun mengingat cara berpisahya kita sangtalah tak indah.
Kami sempat berjanji untuk masuk MTsN, dia mengetahui jika aku mampu berbahasa arab, dan dia terus saja memintaku untuk mengajarinya, aku pun juga begitu yang tidak terlalu mahir dalam berbahasa inggris memintanya untuk mengajariku. Mamanya sangat senang kala itu kami mempunyai hubungan yang ke arah positive. Kemanapun kita pergi bersama selalu ada Mama Iki yang menemani.
Aku tak kuasa lagi untuk mengingat bagaimana kami berakhir tanpa kata perpisahan apapun, aku sudah mulai sibuk pindah rumah ke Perumahan sederhana. Jaraknya memang tidaklah jauh dari rumah sebelumnya tapi tetap saja aku merasa aku seperti kehilangan sesuatu. Saat aku disibukkan dengan Masa Orientasi Sekolah untuk para siswa/i baru di MtsN 42 Jakarta. Dan saat itulah juga Iki pergi pindah juga ke Bandung dan bersekolah di MtsN 3 Bandung. Kami menepati janji kami telah buat dan disepakati bersama. Sama-sama akan masuk MTsN tapi berbeda kota. Yang sebelumnya rumah Iki dekat dengan Rumah Kak Jovi dia pidah ke Bandung. Dan inilah akhirnya dia akhirnya memfollow IG setelah beberapa saat setelah aku memfollow Difana dan Salsa. Dia menghubungi hanyalah via IG saja.
Dia hanyalah secuil roti tawarku di masa lalu, hanya bisa dikenang namun sudah tidak bisa lagi untuk kami miliki. Mungkin inilah keadaan yang lebih baik daripada apapun. Dia sudah bahagia dengan kekasih hati barunya, sedangkan aku sedang mati-matian menahan perasaan cinta agar tak begitu nampak dan bersikap diam dengan perasaan itu, berusaha menjomblo sampai ada yang sah untukku kelak.

Cerita cinta masa lalu adalah bentuk dari kekuasaan sang pencipta yang luar biasa, namun aku sadar, kita sebagai mahluk yang diberi perasaan cinta salah mengungkap rasa cinta itu sendiri. Terkadang lupa jika yang Maha Kuasalah yang memiliki cinta dan memberikan kita semua perasaan cinta, dan akan mengambil cinta itu kembali. Kita lupa untuk meninggalkan cinta saat bersujud kepada-Nya. Kesalahan dimasa lalu jangan sampai terulang kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar