Secuil Roti Tawar II
Apa kamu tahu
bagaimana rupa roti tawar ? aku rasa kehidupan cintaku sama dengan makanan yang
satu itu. Jangan menganggapku aneh ya, tentu aku punya alasan tersediri
untuk perumpamaan tersebut. Kehidupan cintaku awalnya polos seperti warna
dominan di roti tawar original. Putih, tanpa ada noda sedikit pun.
Secuil roti tawar bertabur meses aku ambil lagi untuk di ceritakan, banyak
cerita dari secuil roti tawar kedua ini. Secuil roti tawar yang berisikan
tentang memori masa remaja awalku dengan cerita cinta monyetnya. Ya, bagian ini
bukanlah kisah cinta remajaku yang sudah berumur hampir 17 tahun, dan bukan
pula kisah cinta orang dewasa yang banyak lika-liku, tapi ini cinta monyet
biasa yang tidak tahu siapa yang meulai dan mengakhirinya. Aku “Cintanya” dia
“Monyetnya” hahaha.
Cinta memang tidak selamanya berawal dari kesempurnaan. Dan cinta
bukan berarti kita yang tertawa bahagia, melainkan kita yang merasa nyaman dan
memberikan ketulusan untuk cinta yang juga membuat kita merasa nyaman. Maka itu
kebahagian. Karena cinta bukan hanya sekedar melihat, namun juga dia yang butuh
mendengar dan merasa.
Setelah mandi pagi, aku membereskan kamar, meletakkan buku-buku
pelajaran dan beberapa komik juga novel kedalam rak dibawah meja belajar.
Setelah itu terduduk di pinggir singgle bed yang sudah rapih pula, meraih
handphone yang sudah terisi penuh batreynya. Melihat notification instagram
yang muncul, Difana teman baikku dulu saat masih di kompleks, memfollow
instagramku. Kami sudah lama tak berjumpa lagi setelah aku pindah rumah ke
daerah perumahan sederhana tepat di
dekat tembok pembatas, perubahan yang sangat beda drastis, memisahkan si kaya
dan si sederhana yang hidup berdampingan sebenarnya, namun mereka tak
menyadarinya. Rumahku berlantai dua yang masih bisa melihat kehidupan kompleks
yang jauh dari kata ramah dan melihat jalan utama perkampung yang selalu ramai oleh
orang yang berlalu lalang. Difana sudah sangat berubah, aku pun begitu, dulu
aku diajarkan bagaimana berpakaian seperti wanita normal bukan seperti wanita
abnormal yang selalu menggunakan celana levis dan kaos oblong rumahan serta
rambut di biarkan tercepol berantakan. Aku memang pernah menjadi anggota remaja
masjid, tapi belum ada niatan kala itu untuk berhijab rapi, sudah ada kemauan
namun belum ada tekad yang kuat untuk menggunakannya kala itu. Aku
melihat-lihat koleksi foto Difana, dan mataku melebar saat menemukan sebuah
foto Difana bersama seorang remaja lelaki seumuran yang tidak asing bagiku, dia
Iki. Secuil roti tawarku semasa umurku yang baru beranjak belasan tahun. Sudah sekitar
5 tahun lamanya tidak pernah bertatap muka lagi setelah hari lalu tanpa basa-basi
dia pindah ke Bandung. Dan tidak pernah bertemu lagi sampai saat ini. Aku
penasaran juga dengan perubahan yang Iki miliki. Bagaimana dengan pipi chubynya
itu, apa sudah menghilang dan berganti pipi berahang tegas atau belum. Mataku
berbinar melihat dia tetaplah Iki yang dulu, berpipi chuby dan berbadan gempal,
tetapi lebih kurus dibanding yang dulu. Laki-laki berdarah Padang dan Bandung
itu tetaplah menawan. Aku tersenyum kecut saat mengingat dulu sempat merubah
penampilanku deminya yang menganggapku sebagai kekasih hatinya tanpa ada
pengutaraan isi hati sebelumnya. Lucunya lagi, sang Mama mengetahui hubungan
yang tidak jelas kami. Beliau hanya
tersenyum saat tahu yang statusku satu-satunya teman baik yang Difana miliki di
satu kompeks ini adalah kekasih hati anaknya yang statusnya sebagai sepupu
Difana. Sering bertemu di rumah Difana, sering keluar bersama untuk sekedar
nonton film atau untuk bersantai di cafe. Tanpa disadari, memori masa lalu
terputar kembali. Aku tersenyum kecut, dia sosok pertama yang membuat jantungku
berdegup kencang, dialah sosok secuil roti tawar di masa lalu yang harus siap
aku ungkap. Masih ada rasa sakit, kita memulai kisah cinta monyet tanpa ada
yang memulai, dan mengakhiri kisah cinta monyet itu tanpa ada yang mengakhiri
juga. Kita sama-sama berjanji akan masuk MtsN untuk jenjang berikutnya tapi aku
tak tahu jika ia memilih pindah ke Bandung dan memilih MTsN 3 Bandung dan aku
tetap di tinggal di Bekasi dan melanjutkan sekolah di MtsN 42 Jakarta. Aku
masih mengingat juga awal pertemuan kita setahun sebelum kisah cinta itu
dimulai. Kisah cinta monyet itu dimulai dari, Difana mengajak Weekand saat itu
untuk pergi bersama Ibunya yang mengadakan rapat mendadak, harus tetap berjalan
di hari sabtu. Hari Sabtu adalah waktu Difana bersama sang Ibu untuk
menghabiskan waktu bersenang-senang. Kita pergi ke Arion Mall untuk menemani
Ibu Difana rapat. Di meja berbeda kita menghabiskan 6 potong donat dan 2
cangkir kopi. Sambil bersenda gurau melihat sebuah foto yang menampilkan 7
orang tertawa lepas, mereka adalah saudara sepupu Difana. Dia memperkenalkan
satu-satu, aku memperhatikannya dengan seksama memastikan tak ada yang terlewat
satupun dari pendengaranku.
“Nanti kita ke rumah ka Jovi yah, nanti di sana kita ketemu sama
Kak Jovi, Mpi Devi, Ala, dan a’Iki. Nanti aku kenalin satu-satu deh ke kamu,”
tutur Difana akhirnya sebelum sang Ibu memanggil kami dan pergi ke rumah Kak
Jovi.
Setelah masuk ke dalam mobil dan beranjak dari parkiran Arion Mall.
Aku membuka suara bertanya tentang dua orang remaja yang aku ketahui adalah
kakak laki-laki dari a’Iki, ya seperti itulah Difana memanggilnya. Kata Difana,
kedua kakak laki-laki Iki sudah jarang bergabung dengan mereka berlima, maklum
mereka sudah ada yang kuliah dan sudah sibuk dengan kegiatan bersama remaja
seusinya. Lebih memilih bergabung bersama teman sebayanya dari pada berkumpul
berjam-jam dengan keluarganya.
Aku kembali tersadar dari ingatan masa lalu, aku bangkit dan
membuka lemari. Mataku mengedar kesana kemari hanya untuk mencari sebuah kotak
berukuran sedang berwarna pink, aku menemukannya dibagian bawah lemari,
tersimpan rapi bersama buku UN SD 2010 dan UN SMP 2013. Aku
membuka kotak pink berisikan banyak sekali tiket film yang sudah aku
tonton. Aku mengambil salah satu tiket yang bertuliskan “TOY STORY 3” tertulis tanggal 27 Juni, hari Sabtu sekitar
5 tahun yang lalu. Mataku terpejam, masih dengan posisi berdiri mengingat
memori masa laluku.
Sepanjang perjalanan saat itu Difana hanya menceritakan keempat
saudaranya nanti yang akan di perkenalkan denganku. Dia berjanji akan
memperkenalkanku, senyum terus tersungging di bibirnya. Kala itu aku tertular
kebahagiaan melihat senyumnya mengembang tanpa henti, pasalnya sangatlah jarang
melihat seorang Difana seriang ini.
Sesampainya dirumah Kak Jovi daerah perumahan Villa Nusa Indah,
Difana keluar mobil lebih dulu dari pada aku dan Ibunya. Aku terdiam sebentar,
menyadari sesuatu, Difana meninggalkanku. Seruan lembut Ibu Difana menyadarkan
aku dari pikiran negative yang sempat hinggap tentang anak semata wayangnya.
Aku keluar dari mobil dengan perlahan, diliputi rasa ragu yang luar biasa,
takut-takut keluarga Difana tidak menyukaiku. Terlebih dengan saudara sepupu
Difana, aku menghembuskan nafas sesaat sebelumnya sempat menahannya. Ibu Difana
merangkulku, memang beliau sudah menganggapku seperti seorang kakak yang
katanya memiliki hati yang lembut, penyabar menghadapi Difana yang egois luar
biasa. Ibu tersenyum padaku, aku hanya membalasnya dengan senyum seadanya.
Beliau membisikan kata agar aku tidak perlu cemas dengan keluarga Difana, aku
hanya mengangguk kaku membalas bisikan tersebut. Tanpa sadar kami sudah
melewati pintu gerbang, dan sudah mulai memasuki rumah berlantai 3 ini lewat
pintu belakang dekat garasi. Hatiku berdegup kencang saat seorang wanita yang
masih terlihat sehat di usianya yang sudah renta menanyakan siapa aku, dengan
mantap Ibu berkata aku adalah anak angkatnya. Ternyata beliau Eyang Difana,
Mamanya Ibu Difana. Hatiku menghangat mendengar apa yang dikatakan Ibu
sebelumya. Eyang Difana mengelus puncak kepalaku, aku meraih tangannya lalu
mengecup punggung tangannya tanpa di komando siapapun. Itu sudah menjadi
kebiasaanku pada siapapun yang lebih tua aku temui, sebagai penghargaan atas
ilmu yang beliau punya. Dia tersenyum, menawariku makan siang bersama namun aku
menolaknya, aku masih terlalu kenyang dengan donat-donat tadi yang aku makan
bersama Difana. Ibu menyuruhku ke lantai dua, dan beliau meminta seorang anak
kecil kira-kira berusia 7 tahun untuk mengantarku ke atas dimana katanya Difana
sudah ada di atas. Anak kecil yang sudah mengintaiku sejak aku baru memasuki
ruang makan itu. Namanya Ala, aku tersenyum, dialah sepupu terkecil yang Difana
miliki saat itu. Sesampainya diatas aku melihat sofa panjang di pajang di
tengah lantai dua ini, aku melihat suara dan siluet tubuh Difana ricuh bermain
dengan 2 orang lain di dalam kamar yang terbuka sedikit pintu kamarnya. Saat
aku sibuk melamun ada sepasang suami istri keluar dari salah satu pintu kamar
yang terletak di samping kamar yang aku yakini sebagai kamar saudara sepupu
Difana. Aku menunduk, saat sepasang suami istri itu mendekat kearahku dan
menanyakan siapa diriku pada Ala dan Ala menceritakannya dan aku hanya bisa
tersenyum kikuk dan mengecup punggung tangan wanita yang masih terlihat muda
itu yang ternyata Mama dari Kak Joi dan Devi dan juga melakukan hal yang sama
pada seorang Bapak yang aku yakini adalah Papa Kak Jovi dan dan Devi. Mereka
tersenyum seadanya dan berlalu begitu saja kebawah, aku kembali membuang
nafasku asal. Ala menarik-narik tanganku untuk pergi ke kamar yang pintunya
sedikit terbuka itu, dan aku tahu jika Difana berada disana. Aku melangkah
dengan keraguan, takut menggangu acara mereka, saat aku menyembulkan kepalaku
sedikit kekamr itu canda tawa terhenti seketika, Devi menatapku tak suka. Aku
sudah tahu itu Devi dengan mengandalkan ingkatanku tadi. Yang ku ingat sebagai
Kak jovi bangkit, dan tersenyum ramah, menanyakan namaku,
“Siapa namanya ? Aku Jovi” tuturnya ramah tamah, tersenyum. Aku
membalas jabatan tangannya, tersenyum kikuk.
“Zahra kak,” kataku seadanya. Dia mengajakku beserta Ala untuk
duduk di kasurnya dan dia mulai mengeluarkan PSPnya memberikannya padaku, Ala
pun mengabil PSP miliknya sendiri dari Tas selempang yang tersampir sedari tadi
di pundaknya. Aku menatap PSP itu dalam diam an tak melakukan hal apapun, aku
melirik sekilas ke arah Difana yang masih saja asik mengobrol dengan Devi tanpa
menghiraukan kehadiranku. Kak Jovi tetap memperhatiaknku, lalu mengajakku
keluar kamar dan duduk di kursi panjang yang aku jumpai tadi, dia bertanya aku
suka bermain apa di PSP, sudah pernah main PSP sebelumnya atau belum. Aku
menjawab pertanyaannya yang singkat dan aku mulai hanyut dengan permainan Mario
bros. Tanpa aku sadari Kak Jovi kembali kekamarnya dan kembali bergabung dengan
kedua adiknya tersebut aku kembali termenung saat permainan itu usai, aku tak
hobi bermain game, aku lebih suka mendengar cerita orang lain dan memberi
masukan atau sekedar bertukar pikiran, memperbanyak aktifitas sosial dari pada
harus menutup diri dengan tegnologi yang ada. Sampai pada akhirnya Ala
menarik-narik ujung Dress merahku yang hanya sebatas lutut, dia tersenyum lucu
menanyakan dimana aku membeli Dress ini dan Jaket Ferari warna merah yang
kukenakan pada waktu itu. Aku hanya menjawab Dress ini diberikan Difana
sebelumnya, lalu Jaket Ferari ini milikku sendiri oleh-oleh dari Disney Japan
dari temanku di bangku SD, dia hanya beroh ria dan aku kembali termenung
melihat arah jarum jam yang entah sejak kapan lebih menarik dari apapun yang
ada disekitarku, bunyinya bagai obat penenang bagiku, jarumnya bergulir begitu
pelan sampai aku bosan. Overdosis dengan bunyinya, aku menghela nafasku, sudah
4 jam aku habiskan di rumah ini, dan tak melakukan hal yang menarik, Difana
bermain sendiri dengan kedua kakak sepupunya, aku lebih memilih bersama Ala
yang sudah tertidur di atas pangkuanku dengan masih menggenggam PSP berwarna
Pink soft itu. Kakiku terasa kebas, terlalu lama menopang kepala Ala yang
lama-lama terasa berat juga. Aku mendengar derap peran seseorang menaiki anak
tangga, mataku terus mengawasi siapa yang datang, saat seorang anak laki-laki
yang tampaknya seumuran denganku datang dengan badan gempal dan berpipi chuby
itu, dia pun menatapku bingung, dengan masih memperhatikanku dengan seksama dia
terus berjalan ke arah pintu kamar Kak Jovi dan Devi yang terbuka. Menyembulkan
kepalanya kedalam, aku mendengar dia berbisik pelan, entah apa yang dia
bicarakan dengan ketiga saudara perempuannya itu. Aku memperhatikan jarum jam
lagi, aku melepas perlahan jaket Ferari berwarna merah itu, takut membangunkan
Ala yang masih betah tertidur di atas pangkuanku. Lelaki itu mendudukan dirinya
di dekatku yang masih ada ruang kosong sedikit, mengulurkan tangannya dengan
mempertahankan senyum ramahnya,
“Iki, siapa nama kamu ?’ katanya to the point. Aku membalasnya
hanya dengan senyuman kikuk lalu menjawab dengan pelan.
“Zahra,” sambil menjabat tangannya. Dia melihat ke arah Ala yang
mulai menggeliat namun kembali tertidur pulas lagi.
“Maaf yah, Ala suka begitu sama orang baru, karena 3 kakak
perempuannya yang di dalam sana nggak terlalu suka dengan tingkahnya yang
kadang agak nakal,” tuturnya pelan. Aku hanya mengagguk menginyakan memaklumi.
“Terus masalah Difana, dia bakalan lupa kalo dia bawa temen kesisni
kalau udah gabung sama si Mpi Devi, mereka bakal lupa waktu juga. Maklumin
sifat Difana yang satu itu juga yah,” aku kembali mengiyakan. Dia sangat
mengenal sifat-sifat saudaranya.
“Kelas berapa Ra,” tuturnya lagi seperti memancingku untuk
berbicara.
“Kelas 6 SD, Iki kelas berapa?,” kataku membalikan umpan
pertanyaan, memcoba terbuka. Sepertinya dia sangat ramah, lebih ramah dibanding
Kak Jovi dan Ala.
“Kelas 6 SD juga, wah udah UN dong ya,” katanya lebih antusias. Aku
mengangguk mantap.
Aku tersenyum saat mengingat memori itu semua, pertemuan pertama
kali, nonton bertiga dengan sang Mama lalu makan bersama juga dengannya dan
sang Mama. Air mataku merembes keluar, Rindu akan cinta Monyetku yang tak
pernah ku jumpai lagi. Perpishan yang tak pernah jelas kapan itu berakhir.
Aku kembali melihat koleksi fotonya yang lain dan mataku membulat
untuk kedua kalinya, ada seorang remaja perempuan foto bersama Iki. Dan aku
lihat captionnya itu adalah wanitanya, pacarnya bernama Salsa. Aku tersenyum
miris. Ini double kejutan buatku di pagi menjelang siang ini. Hanya tak
menyangka saja. Tiket itu aku remas dan kumasukan kemabali ke dalam kotak Pink
itu dan memasukannya kembali ke dalam lemari. Aku merebahkan diriku di kasur.
Keingintahuanku berlajut ke akun Instagram milik salsa, aku harus menunggu
sampai dia mengizinkanku untuk menjadi pengikutnya. Tak butuh waktu lama notification
dari akun IG Salsa mucul dan aku mulai menstalkernya, ada foto boneka dan sebuket bunga mawar berwarna pink dengan
Caption ‘31536000 Detik, 525600 Menit, 8760 Jam, 12 Bulan, 1 tahun, Happy
Anniversary’. Aku hanya menganggukan kepalaku saja, melihat juga banyak
foto tangkaian bunga mawar merah dan pink yang Salsa Post juga. Dan ada post
terbaru dari Salsa, bunga mawar yang sudah layu namun masih ia simpan dan
berfoto bersamanya, dengan caption ‘Biarpun mawarnya udah layu, cinta aku ke
kamu nggak pernah layu,’ aku tersenyum lagi. Menyudahi keingintahuanku
tentangnya. Dan berlalu meniggalkan Handphone ke arah balkon rumah dan temenung
disana. Semilir angin manampar wajahku berkali-kali. Rambut panjangku
berkibar-kibar entah menentu, membuatnya terlihat berantakan. Ingatan itu
kembali berputar,
Saat pertama kali kita menonton Film Toy Story 3 dia menggenggam
tanganku memperkenalkan aku sebagai kekasih hatinya kepada sang Mama yang
adalah kakak dari Ibu Difana. Aku sempat menatapnya tak percaya, Sang Mama
hanya menatap kita berdua jahil dan berkata,
“Oh jadi selama ini kamu ngerengek terus setiap Weekand kerumah
Difana mau ketemu sama Zahra ya, dasar tengil baru lulus SD juga udah
jatuh-jatuh cintaan. Anak Mama Udah mulai Remaja nih ye. Tapi emang Zahra mau
jadi pacarnya Iki ?” perkataan Mama Iki mampu membuat jantungku berdegup
kencang.
“Mama ih, jangan nanya gitu dong.” Iki merengek kepada sang Mama.
Aku hanya terdiam sambil menyembunyikan wajahku yang sudah pasti memerah. Tawa
renyah terdengar.
Air mataku merembes kembali mengingatnya yang sudah lama aku tak
berjumpa, berkomuikasi lewat Sosial media pun tidak pernah. Aku sudah lama
melupakannya namun mengingat cara berpisahya kita sangtalah tak indah.
Kami sempat berjanji untuk masuk MTsN, dia mengetahui jika aku
mampu berbahasa arab, dan dia terus saja memintaku untuk mengajarinya, aku pun
juga begitu yang tidak terlalu mahir dalam berbahasa inggris memintanya untuk
mengajariku. Mamanya sangat senang kala itu kami mempunyai hubungan yang ke
arah positive. Kemanapun kita pergi bersama selalu ada Mama Iki yang menemani.
Aku tak kuasa lagi untuk mengingat bagaimana kami berakhir tanpa
kata perpisahan apapun, aku sudah mulai sibuk pindah rumah ke Perumahan
sederhana. Jaraknya memang tidaklah jauh dari rumah sebelumnya tapi tetap saja
aku merasa aku seperti kehilangan sesuatu. Saat aku disibukkan dengan Masa
Orientasi Sekolah untuk para siswa/i baru di MtsN 42 Jakarta. Dan saat itulah
juga Iki pergi pindah juga ke Bandung dan bersekolah di MtsN 3 Bandung. Kami
menepati janji kami telah buat dan disepakati bersama. Sama-sama akan masuk
MTsN tapi berbeda kota. Yang sebelumnya rumah Iki dekat dengan Rumah Kak Jovi
dia pidah ke Bandung. Dan inilah akhirnya dia akhirnya memfollow IG setelah
beberapa saat setelah aku memfollow Difana dan Salsa. Dia menghubungi hanyalah
via IG saja.
Dia hanyalah secuil roti tawarku di masa lalu, hanya bisa dikenang
namun sudah tidak bisa lagi untuk kami miliki. Mungkin inilah keadaan yang
lebih baik daripada apapun. Dia sudah bahagia dengan kekasih hati barunya,
sedangkan aku sedang mati-matian menahan perasaan cinta agar tak begitu nampak
dan bersikap diam dengan perasaan itu, berusaha menjomblo sampai ada yang sah
untukku kelak.
Cerita cinta masa lalu adalah bentuk dari kekuasaan sang pencipta
yang luar biasa, namun aku sadar, kita sebagai mahluk yang diberi perasaan
cinta salah mengungkap rasa cinta itu sendiri. Terkadang lupa jika yang Maha
Kuasalah yang memiliki cinta dan memberikan kita semua perasaan cinta, dan akan
mengambil cinta itu kembali. Kita lupa untuk meninggalkan cinta saat bersujud
kepada-Nya. Kesalahan dimasa lalu jangan sampai terulang kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar