Selasa, 27 September 2016

Cerpen

FICUS RACEMOSA

Puluhan jenis bunga tersebar dibumi ini.Setiap bunga memiliki musimnya untuk merekah indah, begitu juga dengan bunga Udumbara yang hanya mekar 3000 tahun sekali.Udumbara.
Lamabaian angin menyapa wajahku, pagi hari ini sungguh menentramkan jiwa. Kicau burung bersahutan dari gerombolan burung diranting pohon bambu dan itu sangat manis.

Kebahagiaan didapatkan bukan dengan cara mencarinya, kebahagiaan didapatkan karena menciptakannya’
“Namun, terkadang ada hal yang membuatku terpaksa mengaggumi seseorang dalam kebisuaan, karena takut untuk sekedar mengungkapkannya. Takut dengan jawaban yang ia beri, terlalu takut untuk sekedar untuk merasakan patah hati”.
Sebenarnnya untuk apa kamu jatuh hati, jika tak ada keberanian untuk mengungkapnya. Sebenarnya untuk apa kamu jatuh hati, jika kamu tak berani muncul dihadapannya dan mengatakan “Oppa, naega Johae, nan naega sarangahae”’.
“Tapi dia pun terlalu berharga untuk ingin kumiliki”,
‘Perasaan itu pun juga terlalu indah jika hanya disimpan dalam hati. Cinta tumbuh tanpa memerlukan musim, cinta tumbuh tanpa menunggu perintah, karena cinta tumbuh dengan kebebasan.  Kebebasan seperti kau yang hidup, kebebasan seperti kau bernapas, dan seperti kau yang bebas mencintai siapapun. Bebas memilih hati yang kamu cintai’.
Aku kembali tersadar, dari perbincangan dengan hati sendiri. Hatiku selalu menepis ketidakmungkinan yang akan terjadi.
“Kak Rere !, Kak Niska !. turun dong kak, bantuin Mama sini sayang,”
Panggilan Mama mengintrupsiku.
            “Iya Ma, Sebentar,”
            “Cepet ya cantik”.
Katanya lagi tak sabaran, menungguku dilantai pertama rumah kami. Tangga lantai dua yang langsung terhubung kepintu belakang, dekat dengan kamar mandi utama dan dapur. Didapur inilah Mama sibuk menyiapkan sarapan untuk kami berlima, tak termasuk dengan Mama. Ayah sibuk dengan dua adikku, Miska dan Nizam. Miska yang kini berumur 10 Tahun dan Nizam yang berumur 3 tahun. Ayah menemani mereka didepan TV, termangu dengan kartun yang mereka saksikan tanpa absen dihari Sabtu dan Minggu. Aku tersenyum melihatnya, dari balik tirai yang tersingkap sedikit menutupi ruang keluarga dengan ruang makanan dan dapur.
            “Kak Rere mana kak ?, kok nggak turun,”
            “Hmm, masih sibuk sama laptopnya tuh, dari semalem kan nggak bisa nyala, lagi error kayaknya,”
Kataku  sambil menggidikan bahu, tak tahu lebih lanjut.
            “Aduh, kasihan si kakak. Gimana itu Skripsinya ?,”
Kata Mama khawatir dan masih sibuk dengan masakan didalam wajan.
            “Aku pinjamin laptopku kok, dia nyimpen Skripsinya di flesdisk jadi nggak terlalu ngaruh Ma,”
            “Yaudah, tolongin mama iris bakso sama sosisnya ya kak, buat dek Nizam,”
            “Iyap”
Aku langsung mengerjakan apa yang diperintahkan Mama.
~O0O~
Semua makanan sudah tersaji dengan rapi, piring, gelas dan sendok  sudah siap. Saatnya mulai untuk sarapan pagi. Kebiasaan kami berkumpul setiap Weekand, menghabiskan waktu bersama. Karena hari sebelumnya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Loh, si Kakak kemana Ma ?,”
Kata Ayah, yang maksudnya mencari kakak tertua kami, kak Rere. Kakak yang lebih tua dariku 6 tahun.
            “Masih diatas yah, kasihan tuh si kakak sibuk sama Skripsinya. Tambah-tambah lagi sama laptopnya yang rusak tuh ngambek nggak mau nyala,”
            “Ya Allah, tengok dulu sana dek, suruh kakak makan dulu, dipanggil ayah gitu,”
Ayah tampak khawatir, terlihat dari air mukanya yang berubah. Memaksa Miska beranjak dari santap paginya, sekedar untuk menyampaikan pesan Ayah kepada kak Rere. Miska berlari dari ruang makan ke lantai atas. Tidak lama setelahnya, Miska turun diikuiti kak Rere yang mengekor di belakang Miska.  Senyum mengembang di wajahnya, mengintimidasiku lewat pandangannya yang terumbar licik. Dia duduk disebrangku, memangku wajahnya dengan kedua tangannya, menelisikku dengan mata coklat tuanya.
            “Apa !”
Kataku jutek, yang mengetahui maksudnya. Aneh melihatnya bertingkah tak seperti biasa.
            “Kak, katanya laptopnya rusak, kok malah sumringah gitu ?”
Kata Ayah penasaran. Mama pun yang sedang sibuk dengan Nizam ikut menoleh, penasaran juga dengan jawaban kak Rere.
“Ini loh… Kakak Niska lagi jatuh hati pada pandangan pertama, CIE !!”
Katanya lantang dan meledek di akhir kalimatnya. Aku menyengkeritkan dahi, lalu mendelik saat menyadari kalau kak Rere pasti membaca cerpenku untuk kak Faris.
            “KAKAK IH, nyebelin !. nggak sopan buka-buka dokumenku. Resek ih resek !”
Aku manaikan nada bicaraku, kesal dengan apa yang dia katakan. Sekejap, aktivitas dimeja makan berhenti semua, terkecuali Nizam yang masih sibuk mengunyah dengan tenang. Muka Ayah tampak berpikir serius dengan pikirannya sendiri. Mama hanya menatapku sendu, tapi senyum hangat itu masih tersungging untukku. Biarpun sangatlah tipis. Aku hendak mengeluarkan Argumentku, dan menatap kak Rere sengit.
            “Ini meja makan Rere !, Niska !. bukan Meja sidang!,”
Kata Ayah tiba-tiba seperti tahu yang akan terjadi selanjutnya. Dan harus diketahui ayah memanggilku dan kak Rere tanpa ada sebutan “kak” di depan nama kami berdua. Artinya Ayah marah. Aku langsung membungkam mulutku rapat-rapat, tak berniat untuk mengelak. Ayah marah, atau ayah terkejut. Mengetahui anak gadis nomor duanya sudah berani menaruh perasaan kepada seorang laki-laki. Mungkin beliau khawatir.
            “Kak, makan kak. Nggak apa-apa,”
Mama menghentikan renunganku, tersenyum lembut. Aku tersenyum hambar.
~O00O~
            Acara sarapan bersama selesai dengan amat buruk. Ayah langsung masuk kedalam kamar dan berlalu tanpa senyum yang mengembang barang sedikit. Kakakku membantuku dan Mama untuk merapihkan bekas sarapan. Aku masih diam sejak pertengkaran kecil dimeja makan tadi. Tidak berniat untuk berbicara apapun.
            “Kak Rere ?”,
Mama membuncah keheningan.
            “Iya Ma,”
Katanya masih dengan cengiran sumringah, tanpa rasa bersalah apapun.
            “Lain kali jangan kaya gitu lagi ya kak, biarpun itu laptop adikmu sendiri tapi seharusnya kamu nggak melakukan hal itu,”
Sungut Mama dalam ketenangan dirinya. Kak Rere kehilangan raut senangnya.
            “Itu rahasia pribadi untuk adikmu, kau tahu itu kak ?, jangan diulang lagi !”.
Sambunganya lagi, berlalu setelah menaruh piring kotor didekatku yang sibuk dengan alat masak yang kotor di wastafle.
            “Kak Niska ?, nanti Mama mau bicara sama kakak ya, ba’da Dzuhur,”
Aku mendengar panggilannya sebelum benar-benar hening kembali. Tinggal aku sendiri didapur, semenjak kepergian kak Rere beberapa waktu yang lalu. Aku ingin menangis, sesulit inikah untuk merasakan jatuh hati ?.
~O00O~
            “Kakak ?, Mama Masuk ya ?,”
Kata Mama dari luar dan menyembulkan kepalanya diantara pintu. Aku yang sebelumnya sibuk dengan buku pelajaran langsung menutupnya. Memperhatikan Mama duduk di pinggir tempat tidurku. Mama tak benar datang setelah Dzuhur, beliau datang lebih lama dengan apa yang dikatakannya.
            “Kakak Niska udah besar ya sekarang, udah bisa jatuh cinta. Kakak yang dulu adek sekarang udah punyak dua adek. Kakak udah semakin besar,”
Kata Mama berurai air mata, sambil mengusap-usap kepalaku.
            “Kakak yang dulu masih bermanja dengan Mama, sekarang udah gede, udah SMA yang 1 tahun lagi lulus. Nggak terasa kak, sepertinya baru kemarin Mama melahirkan kamu,”
Katanya lagi benar-benar terhisak. Aku menghambur memeluknya ikut menangis dalam dekapnya.
            “Kamulah bunga Udumbara Mama, setelah Kelahiran bunga Anggrek Mama kak Rere, kakak dari bunga Mawar Pelangi Mama dek Miska dan bunga Edelweis Mama, dek Nizam. Kak Niska adalah salah satu bunga langka milik Mama dan Ayah. Bunga Udumbara itu, yang mekar hanya 3000 tahun sekali,”
Katanya lagi sambil  membelai wajahku, masih terlihat jelas sungai kecil yang masih mengalir dari mata coklat tuanya itu.
            “Mama memang bukan bunga Udumbara itu, karena Mama hidup sebagai bunga Lily dalam hidupku. Karena sebelumnya aku masih terlalu asing dengan bunga Udumbara. Tapi aku yakin, bunga itu pasti sangat indah jika merekah,”
Kataku sambil mengusap air matanya.
            “Mungkin, laki-laki itu adalah Udumbara kamu, yang mampu menembus kerasnya benteng pertahanan hatimu nak. Siapa namanya kak ,”
            “Kak Faris,”
            “Insya Allah, dia Udumbara kamu. Udumbara yang langka itu. Tidak semua orang bisa melihatnya biarpun menghabiskan seumur hidupnya,”
            “Mama tahu kamu selalu menjaga hatimu, tapi tidak untuk kali ini. Kamu terpikat pesonanya yang Mama yakin tak biasa dan berbeda,”
Selanjutnya Mama hanya bertanya dari mana aku mengenal sosoknya. Dan terkagum dengan caraku mengungkap rasaku dengan rahasia. Mama tersenyum,
“Biarkan dulu seperti itu, biarkan Allah SWT yang akan menjawabnya lewat waktu. Biar waktu yang mengungkap rahasia-NYA”.
Aku mengecup  punggung tangannya. aku memberanikan diri untuk menatap Mama, dan membuka suara lagi,
            “Ayah ?,”
            “Ayah hanya takut anak gadisnya salah arah, takabur karena cintanya. Selama kamu bisa menjaganya untuk Allah, untuk kami dan untuk diri kamu sendiri, nggak ada masalah”
            “Caramu nggak salah, Mengamankan diri dari fitnah lebih mulia daripada menunjukan hasrat, sekalipun itu fitrah.”
Katanya lagi sambil menepuk pundakku lembut. Lalu beliau berlalu pergi meninggalkan Udumbaranya sendiri. Yang sedang memikirkan perasaannya untuk Udumbaranya.


           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar