FICUS
RACEMOSA
Puluhan
jenis bunga tersebar dibumi ini.Setiap bunga memiliki musimnya untuk merekah
indah, begitu juga dengan bunga Udumbara yang hanya mekar 3000 tahun
sekali.Udumbara.
Lamabaian
angin menyapa wajahku, pagi hari ini sungguh menentramkan jiwa. Kicau burung
bersahutan dari gerombolan burung diranting pohon bambu dan itu sangat manis.
‘Kebahagiaan didapatkan bukan dengan cara mencarinya, kebahagiaan
didapatkan karena menciptakannya’
“Namun,
terkadang ada hal yang membuatku terpaksa mengaggumi seseorang dalam kebisuaan,
karena takut untuk sekedar mengungkapkannya. Takut dengan jawaban yang ia beri,
terlalu takut untuk sekedar untuk merasakan patah hati”.
‘Sebenarnnya untuk apa kamu jatuh hati, jika tak ada keberanian untuk
mengungkapnya. Sebenarnya untuk apa kamu jatuh hati, jika kamu tak berani
muncul dihadapannya dan mengatakan “Oppa, naega Johae, nan naega sarangahae”’.
“Tapi
dia pun terlalu berharga untuk ingin kumiliki”,
‘Perasaan
itu pun juga terlalu indah jika hanya disimpan dalam hati. Cinta tumbuh tanpa
memerlukan musim, cinta tumbuh tanpa menunggu perintah, karena cinta tumbuh
dengan kebebasan. Kebebasan seperti kau
yang hidup, kebebasan seperti kau bernapas, dan seperti kau yang bebas
mencintai siapapun. Bebas memilih hati yang kamu cintai’.
Aku
kembali tersadar, dari perbincangan dengan hati sendiri. Hatiku selalu menepis
ketidakmungkinan yang akan terjadi.
“Kak
Rere !, Kak Niska !. turun dong kak, bantuin Mama sini sayang,”
Panggilan Mama
mengintrupsiku.
“Iya Ma, Sebentar,”
“Cepet ya cantik”.
Katanya lagi tak
sabaran, menungguku dilantai pertama rumah kami. Tangga lantai dua yang
langsung terhubung kepintu belakang, dekat dengan kamar mandi utama dan dapur.
Didapur inilah Mama sibuk menyiapkan sarapan untuk kami berlima, tak termasuk
dengan Mama. Ayah sibuk dengan dua adikku, Miska dan Nizam. Miska yang kini
berumur 10 Tahun dan Nizam yang berumur 3 tahun. Ayah menemani mereka didepan
TV, termangu dengan kartun yang mereka saksikan tanpa absen dihari Sabtu dan
Minggu. Aku tersenyum melihatnya, dari balik tirai yang tersingkap sedikit
menutupi ruang keluarga dengan ruang makanan dan dapur.
“Kak Rere mana kak ?, kok nggak turun,”
“Hmm, masih sibuk sama laptopnya tuh, dari semalem kan
nggak bisa nyala, lagi error kayaknya,”
Kataku sambil menggidikan bahu, tak tahu lebih
lanjut.
“Aduh, kasihan si kakak. Gimana itu Skripsinya ?,”
Kata Mama khawatir dan
masih sibuk dengan masakan didalam wajan.
“Aku pinjamin laptopku kok, dia nyimpen Skripsinya di
flesdisk jadi nggak terlalu ngaruh Ma,”
“Yaudah, tolongin mama iris bakso sama sosisnya ya kak,
buat dek Nizam,”
“Iyap”
Aku langsung
mengerjakan apa yang diperintahkan Mama.
~O0O~
Semua
makanan sudah tersaji dengan rapi, piring, gelas dan sendok sudah siap. Saatnya mulai untuk sarapan pagi.
Kebiasaan kami berkumpul setiap Weekand, menghabiskan waktu bersama. Karena
hari sebelumnya sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Loh,
si Kakak kemana Ma ?,”
Kata Ayah, yang
maksudnya mencari kakak tertua kami, kak Rere. Kakak yang lebih tua dariku 6
tahun.
“Masih diatas yah, kasihan tuh si kakak sibuk sama
Skripsinya. Tambah-tambah lagi sama laptopnya yang rusak tuh ngambek nggak mau
nyala,”
“Ya Allah, tengok dulu sana dek, suruh kakak makan dulu,
dipanggil ayah gitu,”
Ayah tampak khawatir,
terlihat dari air mukanya yang berubah. Memaksa Miska beranjak dari santap
paginya, sekedar untuk menyampaikan pesan Ayah kepada kak Rere. Miska berlari
dari ruang makan ke lantai atas. Tidak lama setelahnya, Miska turun diikuiti
kak Rere yang mengekor di belakang Miska. Senyum mengembang di wajahnya,
mengintimidasiku lewat pandangannya yang terumbar licik. Dia duduk disebrangku,
memangku wajahnya dengan kedua tangannya, menelisikku dengan mata coklat
tuanya.
“Apa !”
Kataku jutek, yang
mengetahui maksudnya. Aneh melihatnya bertingkah tak seperti biasa.
“Kak, katanya laptopnya rusak, kok malah sumringah gitu
?”
Kata Ayah penasaran.
Mama pun yang sedang sibuk dengan Nizam ikut menoleh, penasaran juga dengan
jawaban kak Rere.
“Ini
loh… Kakak Niska lagi jatuh hati pada pandangan pertama, CIE !!”
Katanya lantang dan
meledek di akhir kalimatnya. Aku menyengkeritkan dahi, lalu mendelik saat
menyadari kalau kak Rere pasti membaca cerpenku untuk kak Faris.
“KAKAK IH, nyebelin !. nggak sopan buka-buka dokumenku.
Resek ih resek !”
Aku manaikan nada
bicaraku, kesal dengan apa yang dia katakan. Sekejap, aktivitas dimeja makan
berhenti semua, terkecuali Nizam yang masih sibuk mengunyah dengan tenang. Muka
Ayah tampak berpikir serius dengan pikirannya sendiri. Mama hanya menatapku
sendu, tapi senyum hangat itu masih tersungging untukku. Biarpun sangatlah
tipis. Aku hendak mengeluarkan Argumentku, dan menatap kak Rere sengit.
“Ini meja makan Rere !, Niska !. bukan Meja sidang!,”
Kata Ayah tiba-tiba
seperti tahu yang akan terjadi selanjutnya. Dan harus diketahui ayah
memanggilku dan kak Rere tanpa ada sebutan “kak” di depan nama kami berdua.
Artinya Ayah marah. Aku langsung membungkam mulutku rapat-rapat, tak berniat
untuk mengelak. Ayah marah, atau ayah terkejut. Mengetahui anak gadis nomor
duanya sudah berani menaruh perasaan kepada seorang laki-laki. Mungkin beliau
khawatir.
“Kak, makan kak. Nggak apa-apa,”
Mama menghentikan renunganku,
tersenyum lembut. Aku tersenyum hambar.
~O00O~
Acara sarapan bersama selesai dengan amat buruk. Ayah
langsung masuk kedalam kamar dan berlalu tanpa senyum yang mengembang barang
sedikit. Kakakku membantuku dan Mama untuk merapihkan bekas sarapan. Aku masih
diam sejak pertengkaran kecil dimeja makan tadi. Tidak berniat untuk berbicara
apapun.
“Kak Rere ?”,
Mama membuncah
keheningan.
“Iya Ma,”
Katanya masih dengan cengiran
sumringah, tanpa rasa bersalah apapun.
“Lain kali jangan kaya gitu lagi ya kak, biarpun itu
laptop adikmu sendiri tapi seharusnya kamu nggak melakukan hal itu,”
Sungut Mama dalam
ketenangan dirinya. Kak Rere kehilangan raut senangnya.
“Itu rahasia pribadi untuk adikmu, kau tahu itu kak ?,
jangan diulang lagi !”.
Sambunganya lagi,
berlalu setelah menaruh piring kotor didekatku yang sibuk dengan alat masak
yang kotor di wastafle.
“Kak Niska ?, nanti Mama mau bicara sama kakak ya, ba’da
Dzuhur,”
Aku mendengar
panggilannya sebelum benar-benar hening kembali. Tinggal aku sendiri didapur,
semenjak kepergian kak Rere beberapa waktu yang lalu. Aku ingin menangis,
sesulit inikah untuk merasakan jatuh hati ?.
~O00O~
“Kakak ?, Mama Masuk ya ?,”
Kata Mama dari luar dan
menyembulkan kepalanya diantara pintu. Aku yang sebelumnya sibuk dengan buku
pelajaran langsung menutupnya. Memperhatikan Mama duduk di pinggir tempat
tidurku. Mama tak benar datang setelah Dzuhur, beliau datang lebih lama dengan
apa yang dikatakannya.
“Kakak Niska udah besar ya sekarang, udah bisa jatuh
cinta. Kakak yang dulu adek sekarang udah punyak dua adek. Kakak udah semakin
besar,”
Kata Mama berurai air
mata, sambil mengusap-usap kepalaku.
“Kakak yang dulu masih bermanja dengan Mama, sekarang
udah gede, udah SMA yang 1 tahun lagi lulus. Nggak terasa kak, sepertinya baru
kemarin Mama melahirkan kamu,”
Katanya lagi
benar-benar terhisak. Aku menghambur memeluknya ikut menangis dalam dekapnya.
“Kamulah bunga Udumbara Mama, setelah Kelahiran bunga
Anggrek Mama kak Rere, kakak dari bunga Mawar Pelangi Mama dek Miska dan bunga
Edelweis Mama, dek Nizam. Kak Niska adalah salah satu bunga langka milik Mama
dan Ayah. Bunga Udumbara itu, yang mekar hanya 3000 tahun sekali,”
Katanya lagi
sambil membelai wajahku, masih terlihat
jelas sungai kecil yang masih mengalir dari mata coklat tuanya itu.
“Mama memang bukan bunga Udumbara itu, karena Mama hidup
sebagai bunga Lily dalam hidupku. Karena sebelumnya aku masih terlalu asing
dengan bunga Udumbara. Tapi aku yakin, bunga itu pasti sangat indah jika
merekah,”
Kataku sambil mengusap
air matanya.
“Mungkin, laki-laki itu adalah Udumbara kamu, yang mampu
menembus kerasnya benteng pertahanan hatimu nak. Siapa namanya kak ,”
“Kak Faris,”
“Insya Allah, dia Udumbara kamu. Udumbara yang langka
itu. Tidak semua orang bisa melihatnya biarpun menghabiskan seumur hidupnya,”
“Mama tahu kamu selalu menjaga hatimu, tapi tidak untuk
kali ini. Kamu terpikat pesonanya yang Mama yakin tak biasa dan berbeda,”
Selanjutnya Mama hanya
bertanya dari mana aku mengenal sosoknya. Dan terkagum dengan caraku mengungkap
rasaku dengan rahasia. Mama tersenyum,
“Biarkan
dulu seperti itu, biarkan Allah SWT yang akan menjawabnya lewat waktu. Biar
waktu yang mengungkap rahasia-NYA”.
Aku mengecup punggung tangannya. aku memberanikan diri
untuk menatap Mama, dan membuka suara lagi,
“Ayah ?,”
“Ayah hanya takut anak gadisnya salah arah, takabur
karena cintanya. Selama kamu bisa menjaganya untuk Allah, untuk kami dan untuk
diri kamu sendiri, nggak ada masalah”
“Caramu nggak salah, Mengamankan diri dari fitnah
lebih mulia daripada menunjukan hasrat, sekalipun itu fitrah.”
Katanya lagi sambil
menepuk pundakku lembut. Lalu beliau berlalu pergi meninggalkan Udumbaranya
sendiri. Yang sedang memikirkan perasaannya untuk Udumbaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar