Secuil Roti Tawar I
Apa kamu tahu
bagaimana rupa roti tawar ? aku rasa kehidupan cintaku sama dengan makanan yang
satu itu. Jangan menganggapku aneh ya, tentu aku punya alasan tersediri
untuk perumpamaan tersebut. Kehidupan cintaku awalnya polos seperti warna
dominan di roti tawar original. Putih, tanpa ada noda sedikit pun. Entah
bagaimana ceritanya aku mulai mearasakan gejolak detak jantung yang tak bekerja
semestinya, saat pertama kali bertemu sepupu teman kecilku dulu, tapi aku belum
sanggup mengingatnya lagi. Ya, memang Kak Faris bukan yang pertama
membuat aku merasakan hal yang sama namun berbeda rasa ini. Dia yang membuat
mimpi cinta sejati seakan hidup, seperti melihat pesona yang berbeda. Mungkin
karna dia lebih dewasa dariku, sekitar 8 tahun, mungkin. Itu yang mebuatnya
berbeda dari laki-laki yang masih sok dewasa yang berkeliaran di lingkunganku.
Kekagumanku kepadanya kusimpan dalam diam, mungkin awalnya kusimpan rapat
sendiri dari siapa pun, termasuk teman-temanku. Namun pada akhirnya teman-temanku
tahu juga, hanya beberapa orang, tidak banyak, masih bisa terhitung dengan
jari. Hanya beberapa teman yang sudah kujadikan sahabat atau sekedar teman
dekat untuk saling bertukar pikiran. Rata-rata dari mereka tak pernah
menyangkanya, aku benar-benar sedih saat mendengar komentar mereka, lebih
banyak mengatakan ;
‘ kenapa dia? Umur kalian beda jauh, pasti beda urusan dan susah
buat nyatu, pasti dia udah siap buat membina rumah tangga, dan kamu masih
sekolah, belum siap untuk memikirkan hal-hal seperti itu’
Saat mengingatnya aku hanya bisa tersenyum getir. Tiba-tiba
perasaan bimbang datang dan mulai meracuni isi otakku, untuk berhenti
menyertakan nama Kak Faris di setiap doa sholat malamku. Ketakutanku terjawab
sudah, pada akhirnya aku ragu untuk perasaan ini. Sebenarnya apa perasaan ini,
hanya kagum atau semacam cinta. Aku tak mampu untuk menjawabnya sendiri, masih
belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku. Hatiku mulai bimbang
dan semakin ragu saat tak melihat respon yang luar biasa dari Kak Faris. Saat
ritual yang mulai rutin aku lakukan, membuat cerpen yang berisikan kekagumanku
kepadanya. Cerpen yang memiliki sejuta untaikan kata indah dan romantis untuk
menunjukan rasa cintaku yang masih samar-samar. Saat aku melakukan hal gila,
mengiriminya cerpen-cerpen itu melalui akun Email yang aku samarkan
identitasnya. Aku menghela nafas, membuangnya dengan kasar, tidak pernah
menyangka bermimpi akan cinta sejati ternyata sangatlah rumit. Kenapa aku harus
bermimpi memiliki cinta sejati pada dirinya yang tak pernah mengenalku
sebelumnya, kenapa aku harus jatuh cinta atau mendeskripsikan dengan cepat
bahwa ini perasaan cinta. Cinta yang tumbuh tiba-tiba, dan seakan tumbuh dengan
subur di dalam hatiku. Sungguh menggelikan! mungkin aku terlalu banyak menonton
drama Korean, atau terlalu banyak membaca novel-novel fiksi yang mengatakan
bahwa cinta sejati itu ada dan kamu boleh memimpikannya, boleh menanamnya pada
siapa pun, dan boleh mengharapkan hal yang sudah di luar nalar itu. Tapi aku
percaya adanya cinta, aku hanya tak yakin dengan perasaanku sendiri, apakah
bisa hatiku menemukan cinta sejatinya kelak. Oh, entahlah... Let time
answer.
Aku memijat keningku sendiri, berdenyut keras saat memikirkan
tentang masalah hati dan berdebat dengan diri sendiri. Sungguh memalukan jika
kau menjadi diriku, seperti mengemis cinta dengan modal cerpen-cerpen murahan
yang belum menembus tabloid majalah mana pun, atau sekedar memasangnya di blog
pribadiku yang sepi pembaca itu. Ingat diri, kau belum ada apa-apanya
dibandingkan teman kerjanya mungkin, atau anak-anak kampus yang berhasil dia
sukseskan langkahnya untuk masuk Universitas yang mereka idam-idamkan dari
tempat kerjanya, tempat Bimbingan belajar. Ingat, aku hanya anak SMA ingusan
yang bermimpi akan cinta sejati terjadi padaku dan Kak Faris. Bahkan umurku
belum genap 17 tahun.
“Kak, katanya mau
les ? uangnya udah ada lama kok belum daftar-daftar juga?” kata Mama yang
tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, meluapkan masalah yang aku pikirkan
sendiri.
“Ah, nggak jadi
les aja Ma, tempatnya jauh banget dari sekolah sama rumah. Takut kecapean kalau
rutin aku kejar jadwalnya. Lagi pula kalau aku mau di galaxy ini kan udah
banyak tempat bimbel yang nggak kalah hebat dari pada tempat les itu,”
“Kalau aku mau,
aku masih sanggup buat belajar sendiri,” aku menambahkan penjelasanku, lalu
menghela nafas setelahnya.
“Loh, kenapa
tiba-tiba berubah pikiran gitu, seinget Mama kamu yang kepingin banget buat
masuk bimbel itu, sebenarnya kenapa?” kata Mama penuh selidik. Aku terdiam,
membeku tak berani untuk mengatakan yang sejujurnya. Jika memang aku harus les
di tempat bimbel itu, berarti aku harus juga mempersiapkan mental untuk bertemu
lagi dengan Kak Faris, dan memberi tahunya kalau akulah pengirim cerpen-cerpen
itu.
“Niska..” panggil
Mama, menuntut jawaban.
“Sebenernya ada
masalah lagi..” aku menggantung pernyataanku. Mama memang tahu tentang perasaan
ku terhadap Kak Faris, tapi beliau tak mengetahui kalau Kak Faris bekerja di
tempat bimbel itu.
“Apa?” nadanya
seperti menuntut penjelasan lebih lanjut.
“Nggak punya temen
ngebimbel disana Ma,” Mama menghela nafas, aku tahu dia kecewa dengan
jawabanku.
“Terserah sama
kakak ajalah, Mama udah ngarahin, udah nyediain uangnya, terserah sama kakak aja
mau ngikut sama Mama atau punya pendapat sendiri. Kamu udah gede, udah tahu
mana yang baik buat kamu. Mama mau ke pergi ya, kamu jangan bengong di sini
aja. mandi sana loh, gadis kok mandi siang. Mama tinggal ya.” Aku hanya
mengangguk membiarkannya pergi, tapi aku masih enggan untuk beranjak dari tempatku
saat ini. Termangu disini sejak ba’da sholat subuh, melihat jalan komplek yang
mulai ramai, lalu-lalang orang-orang yang terbiasa berolahraga pagi di setiap
Weekand. Agaknya aku selalu menanti Alexandria muncul dengan pesona cahayanya
yang mampu mengubah kabut menjadi bulir-bulir embun yang menyejukan kehidupan
untuk hari ini. Aku jadi teringat status di salah satu akun chatting
pribadinya.
‘Embun tak harus berwarna untuk membuat daun jatuh cinta’
Aku tak pernah tahu dia mendapatkan kata-kata indah itu dari mana.
Tiba-tiba saja mata coklatku menagkap gerombolan remaja laki-laki, sebagian
kecil di antara mereka aku mengenalnya, temanku dulu di Majelis ilmu remaja di
Masjid Al-Fajr. Kurang lebih 4 tahun aku tak pernah bertemu dengan mereka,
jangankan bertemu, melihat mereka pun rasanya jarang sekali. Apalagi untuk
sekedar mengobrol panjang lebar atau berdiskusi bahasa arab seperti dulu di
Majelis ilmu. Alasan formalnya ya karena ingin fokus untuk test masuk salah
satu MTsN favorite di Jakarta Timur. Sebelum aku lolos test, aku benar-benar
meninggalkan kegiatan rutin setiap soreku saat itu. Alasan lain mungkin karena
masalah hati, tapi disini bukan aku yang merasakan cinta. Tapi sahabat-sahabat
terbaikku di Majelis ilmu kegiatan rutin milik Remaja masjid Al-Fajr. Di
Majelis ilmu ini yang perempuan hanya aku dan Maemunah, selebihnya adalah
laki-laki. Sebenarnya simple untuk menjelaskan kenapa hanya aku dan Mae---aku
biasa memanggilnya Mae--- anggota perempuannya. Saat remaja perempuan seusia
kami mulai pergi ke salon dan nongkrong-nongkrong di tempat yang lagi
ngehits di kalangan remaja, atau lebih memilih les bahasa inggris yang mengeluarkan banyak uang untuk
kegiatan itu semua. Dan aku lebih memilih kegiatan belajar bahasa Arab yang
bermanfaat dan tidak mengeluarkan sepeser uang. Aku bangga dengan kegiatan
setiap soreku itu, tak pernah malu dengan mereka yang punya kecengan
yang bagus untuk di pamerkan. Selama kurang lebih 2 tahun aku mengikuti
kegiatan memperdalam kemampuan untuk berbahasa Arab, mempunyai tiga orang
sahabat yang solid, mereka ; Maemunah, Kak Ahmad, dan Kak Imran. Jam-jam soreku
saat itu sangat menyenangkan, bertemu dengan mereka, berdebat dalam diskusi
panas yang membahas bahasa Arab itu. Tersenyum saat mengingatnya. Jadi ingat
juga saat aku mengaggumi kemampuan berbahasa Arab Kak Imran, dia yang paling
cakap dari semua anggota. Maemunah kuceritakan tentang kekagumanku pada
kemampuan Kak Imran, yang malah membuatnya salah paham, yang mengira aku
menyukai Kak Imran lebih dari seorang sahabat. Tapi aku menangkap sinyal-sinyal
kecewa dari wajah Maemunah, dia seperti menyukai Kak Imran. Hatiku mencelos
saat mengingatnya, hal tersebutlah yang membuatku berpisah dengan mereka.
Esok sorenya, Kak Imran seperti salah meminum obat, dia mencoba
membuatku tersipu malu, tapi gagal malah membuatku menatapnya aneh dan penuh
tanda tanya, sedari saat itu aku baru saja masuk ke dalam Masjid dia terlihat
sumringah sehabis mengobrol dengan Maemunah. Aku belum menyadari sesuatu saat
itu, kalau ternyata Maemunah, membocorkan
ceritaku kemarin, dan kesalah pahaman ini membuat aku dan Mae menjauh, Mae
selalu saja menghindar. Aku sangat paham kenapa dia begitu. Saat aku ingin
menjelaskan dia selalu pergi menjauh, tak ada kesempatan untukku menjelaskan,
meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Diskusi sore itu usai, lalu Kak Imran
tiba-tiba saja mengahampiriku dan berbicara tentang hati, menyinggung tentang
perasaanku kepadanya. Aku tak mempedulikannya, lebih baik diam. Setelah dia
berhenti berbicara, aku mengakhirinya secara paksa dan pergi begitu saja. Mae
meninggalkanku, biasanya aku akan pulang bersama, biarpun di tikungan simpang
jalan yang menampakan gerbang batas komplek dengan perkampungan perumahan
sederhana akan memisahkan kami. Entah mengapa aku sangat yakin jika Mae
memberikan informasi salah paham itu. Aku hanya menghela napas gusar. Berharap
masalah yang sedang aku lalui ikut terbuang bersama hembusan napas yang keluar
dari hidungku.
Sudah dua minggu masalah ini berlarut, aku masih mencoba bersikap
biasa saja, saat aku terus didekati oleh Kak Imran yang tidak pernah mendengar
penjelasanku yang dia anggap sebagai hal yang biasa di lakukan perempuan jika
ketahuan menyukai laki-laki yang dia
suka. Aku juga masih terus mendekati Mae yang makin hari makin menjauh saja
dariku. Belum selesai dengan masalah itu, Kak Ahmad yang ku kira akan
memberikan pencerahan tentang perang dingin yang diletuskan Mae dan bom-bom
cinta yang selalu di tembakan ke arahku dari Kak Imran. Dia malah datang
menambah masalah, dia mengatakan bahwa dia menyukai Mae, aku hanya bisa menepuk
jidatku, menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal dan mengusap wajahku kasar.
Kenapa persahabatan yang 2 tahun terjalin bisa runyam begini dalam hitungan
hari karena C.I.N.T.A. kepalaku berdenyut saat itu, sesulit inikah mencintai
dan dicintai, padahal aku belum merasakan apapun tentang cinta kala itu. Namun
aku harus tertarik oleh pusaran kerumitan cinta ABG. Ya, yang harus aku
akui saat itu aku juga masih ABG.
Setelah hari dimana Kak Ahmad hampir membuatku serangan jantung,
tentang penginfoan perasaannya untuk Mae kepadaku, dan perasaan Mae yang belum
diketahui oleh Kak Imran. Aku harus berbuat sesuatu, yang dimana harus dimulai
dari Kak Imran, setelahnya Mae, lalu Kak Ahmad. Pikirku saat itu, aku masih
mengingatnya dengan sangat jelas. Sore itu juga, saat Kak Imran menghampiriku,
sebelum dia banyak cakap dan akan sulit untuk menghentikannya, aku berbicara
terlebih dahulu. Memonopoli pembicaraan, tak membiarkan Kak Imran mengintrupsi
penjelasanku sampai dia paham, bahwa ini kesalah pahaman, yang menyukai Kak
Imran bukan aku, tapi Mae. Dia membeku, mengetahui jika Kak Ahmad menyukai Mae,
dia tahu persis Kak Ahmad menyukai Mae. Yang lebih rumit lagi adalah Kak Imran
dan Kak ahmad adalah saudara sepupu dekat. Mereka selalu berbagi apapun yang
mereka miliki. Tapi mungkin tidak untuk satu hal ini, cinta. Menurutku cinta
itu tidak bisa di bagi, jika kita mencintai satu orang maka hanya dia yang ada
di hati, takkan ada istilah mendua, cukup dia satu. Tapi sayangnya pada saat
itu aku belum merasakan getaran cinta. Hanya tersangkut di akar permasalahan
cinta segitiga milik tiga orang sahabatku itu. Dan pada akhirya setelah aku
menjelaskan apa sebenarnya yang aku maksud mengaggumi Kak Imran adalah memang
benar jika aku hanya mengaggumi kecakapannya dalam berbahasa Arab, tidak lebih.
Namun Kak Imran dengan datarnya mengatakan,
“Ana nggak
bisa menerima perasaan Mae Nis, awalnya berharap kalau memang benar anti
yang menyukai ana lebih dari pada
mengaggumi kecakapan dalam berbahasa Arab,”
“itu sudah masalah
hati anta, ana hanya menyampaikan yang benar, meluruskan yang
salah. Ana pamit, dan maaf jika ana tidak bisa membalasnya.
Assalamua’laikum,” aku berlalu begitu saja, berharap masalahku dengan Kak imran
selesai.
Setelah dimana hari itu, sikap Kak Imran sudah kembali biasa saja
padaku. Memang aku merasakan sikapnya
yang sedikit menjauh, tapi tak masalah, harapanku sudah tercapai Kak Imran sudah
tak salah sangka lagi. Masalahku tinggal dua, menyampaikan perasaan Kak Ahmad
kepada Mae dan menjelaskan kebenaran kepada Mae setiap pulang aku terus saja
mencoba mendekati Mae untuk menjelaskannya, dan akhirnya Mae memutuskannya, aku
boleh menjelaskan sebenar-benarnya apa yang terjadi. Setelah masalah itu
berakhir. Mae menimbulkan senyum di wajahnya, bahwa aku tak menaruh hati pada
lelaki pujaannya. Namun senyum itu sirna saat aku berkata jujur tentang hal
yang menyakitkan, tentang perasaan Kak Imran yang ternyata tak punya perasaan
lebih kepada Mae. Mae menangis kala itu, kita teruduk di sebuah bangku di
belakang masjid. Sungai kecil terus mengalir di pipi dari matanya yang sipit. Aku
hanya menepuk-nepuk pundakknya dan membiarkannya menangis dalam pelukku. Aku
merasa seperti penjahat cinta, menyakiti dua orang sekaligus dalam kurun waktu
yang sangat singkat, menyakiti perasaan Kak Imran, lalu Mae. Aku seperti musuh
dalam selimut, terutama untuk Mae. Setelah Mae tenang, aku mencoba menjelaskan
padanya,
“Nggak perlu sedih
Mae, ana punya berita bagus loh... Kak Ahmad suka sama Mae. Jadi jangan
putus asa gitu. Cobalah untuk membuka hati kepada orang-orang yang baru,”
setelahnya Mae meneggakan duduknya, dia menatapku dengan tatapan tak percaya,
namun detik berikutnya dia kembali lesu tak bersemangat. Aku heran dengan
perubahan mimik wajahnya. Tak terbaca.
Dia hanya menggeleng, dan aku baru bisa menangkap maksud dari
gelengan itu, dia belum bisa membuka hatinya untuk orang lain. Aku
memakluminya, mungkin memang rumit dan sulit. Sore itu lembayung sore
menggantung indah di langit sana, hari makin petang, sebentar lagi langit akan
menggelap. Menjadi saksi bisu pembicaraan kami berdua, lalu kami memutuskan
untuk pulang. Saat itu.
Esoknya aku tak pernah ada waktu untuk bertemu dengan mereka, aku
selalu absen dari kegiatan Majelis ilmu itu, terpaksa mengikuti les tambahan
dari sekolah. Seminggu, aku benar-benar absen, eksistensiku makin berkurang
saja di Majelis ilmu. Aku melihat Mae, dia menghampiriku penuh semangat, dan
langsung memelukku sesaat setelah aku muncul dihadapnya.
“Dari mana aja sih
kamu Nis, kangen tahu,” katanya sambil terus memelukku erat.
“Maaf, sibuk nih,
udah mulai belajar tambahan terus disekolah,” aku membalas peluknya
“Iya, dikit lagi
kita kan mau UN. Seharusnya aku juga mulai absen dulu nih.”
“Nggak perlu, asal
bisa bagi waktu Mae.”
“Ya juga, berarti
kamu nggak bisa bagi waktu dong ?,” aku hanya mampu menggidikan bahu belum tahu
kedepannya seperti apa.
“Yah, kamu mah
gitu. Nggak jelas, ngegantung banget jawabannya,” aku hanya membalasnya dengan
senyum seadanya.
“Iyaudah, ada
berita apa nih sama Mae? Kok kayaknya lagi berbunga-bunga banget auranya,”
berusaha memancing supaya Mae mau buka suara.
“Akhirnya aku udah
bisa buka pintu hati buat Kak Ahmad,” tiba-tiba Mae memelukku lagi.
“Ah, akhirnya.
selamat ya yang udah berhasil bebas dari zona galaunya. Trus-trus gimana
sekarang ?,” Mae tersipu dengan ucapku.
“Ya, nggak
gimana-gimana Nis... kamunya lama sih nggak hadir di sini. Jadinya aku belum
melakukan apapun,”
“Yah, yaudah mau
aku sampaikan nggak masalah hatinya?,” aku mencoba menawarkan jasa kurir cinta,
walau aku tahu itu salah.
“Ya, kalo
Niska nggak keberatan,” kata Mae malu-malu.
“Oke deh,
nanti sore Niska coba berbicara kepada Kak Ahmad,” aku menepuk-nepuk pundak Mae
dan berlalu sendirian ke arah gerombolan empat remaja laki-laki yang sudah
sibuk berdiskusi mengartikan Novel berbahasa Arab yang sudah tiga minggu ini
kami artikan.
“Nggak, bisa gitu.
Ini nggak bisa diartikan per-kata mas bro. Ini harus per-kalimat,
nantinya akan aneh kalau diartikan per-kata,” komentar Kak Anang, dia adalah
ketua Remaja Masjid Majelis Ilmu milik kita ini, dan juga paling dewasa di
banding kita semua. Dia sudah kelas 11 MA, sangat jauh denganku yang kala itu
masih kelas 6 SD.
“Aaa.. emang bener
kata Mas Nanang. Ane setuju dah. Bakal ribet kalo urusannye ngartiin per-kata
bang bro!,” sahut bang Dodo yang anak Betawi asli, seumuran dengan Kak
Imran dan Kak Ahmad.
“Tapi ilmu kita
belum ada yang sampe kalo ngartiin per-kalimat,” bantah Kak
Imran, dan aku hanya menguping dengan berdiri didepan pintu Masjid,
memperhatikan mereka yang sedang larut dalam diskusi.
“Ya, harus
dicobalah Imran, sesuatu hal yang udah lu nggak bisa trus nggak lu coba
akan menjadi ketidakbisaan selamanya. Sesuatu yang lu nggak bisa dan lu coba
akan menjadi sebuah bibit bakat baru dalam diri lu,” Kak Ahmad berbicara, semua
orang terpaku mendengarnya, termasuk aku dan Maemunah yang ikut berdiri di
sampingku entah sejak kapan.
“Wow, Ahmad. ana
nggak pernah tahu kalo antum punya bakat jadi motivator. And Masya
Allah, ada Niska di sini. Yang udah 2 minggu nggak ada kabarnya,” Kata
Kak Raka yang berkomentar tentang kata mutiara yang diberikan Kak Ahmad kepada
Kak Imran yang biasanya hanya bisa memberi kami lelucon-lelucon sederhana dan
juga menyadadarkan anggota lain tentang kehadiranku setelah absen 1 minggu.
“1 minggu kali kak
Raka. Lama banget 2 minggu.” Kataku sambil berjalan maju dan menghampiri
keempat laki-laki bersarung, berkokoh dan berpeci itu. Kak Imran memasang muka
datar yang susah untuk bisa ditebak, dia memang menjauh setelah hari aku
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Berbeda dengan Kak Ahmad yang
tersenyum setelah melihat kedatanganku.
“Kemana aja Nis,
lama banget nggak curhat-curhat nih,” Kak Ahmad sumringah melihatku bergandeng
tangan bersama Mae.
“Niskanya kemarin
sibuk Try Out. Banyak bimbingan dari wali kelasnya, maklum aja UN pertama nih,
peraturannya juga baru, udah ada kode A, kode B nanti soal UNnya,” aku berpura
memasang muka sedih dan memeluk Mae, saat Mae menjelaskan kepada keempat remaja
laki-laki di depan kami ini,
“Kenapa harus di
kita percobaannya, ini akan menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa
mengerikan,” Aku menutup mukaku, sebenarnya ini adalah suatu drama yang sedang
aku dan Mae mainkan. Aku menghindari kemarahan Kak Anang yang sudah pasti marah
jika salah satu anggotanya absen tanpa izin dan tak hadir begitu lama dalam
pertemuan itu.
“Ya, ya. Kak Anang
maafin Niska deh. Memaklumkan karena sebuah situasi yang jatuhnya lebih penting
persiapan UN daripada pertemuan diskusi ini,” Kak Anang berkata bijak, mengerti
kemana arah pembicaraan ini. Kami semua sudah terbiasa dengan sikapnya yang
satu ini. Bijak.
Akhirnya kita melanjutkan apa yang seharusnya kita lanjutkan.
Berdiskusi.
~~~~
Petang mencoba menghampiri kala itu, jarum jam menunjukkan pukul
16.00 WIB. Aku masih terduduk di serambi Masjid, menyibukkan diri dengan sebuah
buku kumpulan soal-soal UN 2010. Mencoba menunggu Kak Ahmad yang masih bungkam
tentang perasaan Mae yang beberapa menit lalu aku sampaikan padanya. Dia pun
masih menyibukkan diri dengan menyapu serambi Masjid, hari itu adalah
gilirannya tugas piket serambi Masjid.
“Semuanya sudah
terlambat, kakak berpikir buat apa menyukai seseorang yang tidak bisa membalas
apa yang kakak rasakan padanya. Buat apa kakak mengejar sebuah harapan hampa,
padahal disampingnya ada harapan yang nyata, sudah sangat jelas semuanya.” Aku
hanya melihatnya sekilas lalu mengangguk-anggukan kepala. Setuju dengan apa
yang ia katakan, tapi pikiranku masih terfokus pada salah satu soal yang
membuat kepalaku berdenyut. Aku menghela napas, bersabar lalu menutup buku
tebal itu.
“Sayang banget ya
kak, emangnya siapa yang ngebuat kakak ngubah haluan gitu ?,” aku bertanya,
mencoba mengetahui siapa gadis itu, yang menggantikan sosok Mae, dia memangnya
sehebat apa bisa membuat Kak Ahmad berubah pikiran dan melupakan perasaannya
kepada Mae. Kak Ahmad diam. Masih diam.
“Berarti nggak ada
kesempatan kedua bagi Mae dong Kak ?,” Kak Ahmad mengangguk pelan, lalu
mengambil napas dan tersenyum.
“Perasaan itu
gampang banget berubah-ubah ya Nis, bisa aja di hari kemarin kakak menyukai Mae
tapi pada hari selanjutnya kakak menyukai sahabatnya, pada gadis yang ada
didepan mata kakak saat ini,” hatiku mencelos saat mendengar apa yang dikatakan
Kak Ahmad, mataku terasa panas, siap untuk mengalirkan sungai kecil lalu
menatap langit seperti seorang pesakitan. Ternyata aku yang akan menajadi musuh
dalam selimut bagi Mae. Aku, aku yang tidak sengaja membuat semua cerita cintanya
pupus begitu saja, cintanya yang harus bertepuk sebelah tangan. Cintanya
seperti daun pohon maple di musim gugur.
“Maaf Niska harus
pergi sekarang, Assalamualaikum.” Aku berlalu begitu saja, dengan berlinang air
mata. Aku harus menjauh dari mereka semua, harus. Aku akan memikirkan bagaimana
caranya.
Saat dijalan pulang Difana, teman kompleksku menghampiriku dengan
penuh rasa penasaran, melihatku yang tak baik-baik saja. Masih terduduk di
bangku taman kompleks yang sudah semakin sepi karena waktu Maghrib hampir tiba.
“Hey Zah, what are
doing in here. And why are you crying, please tell me what’s the problem?”---Difana
memanggilku Zahra--- katanya menggunakan bahasa inggris, dia adalah salah satu
temanku yang les bahasa inggris. Tanpa berpikir panjang aku memeluknya
menceritakan semua yang terjadi begitu cepat, hanya karena perasaan norak yang
merusak segalanya. Cinta.
“Gue harus
ngelakuin apa Dif, kepala gue sakit banget buat mikirinnya, gue nggak ngerasain
apa sih itu perasaan norak, yang merusak segalanya dengan cepat. Semacam virus
yang mematikan.”
“Bukan rasanya
yang salah Zahra, tapi orang-orangnya yang belum bisa mengerti apa yang mereka
mau, apa yang mereka rasakan. Dan tidak bisa bersikap seperti biasa saja,
mereka tidak menyadari kehancuran yang akan menghampiri mereka. Adakalanya rasa
cinta akan membuat seseorang sangat bahagia dan bersyukur kepada Tuhan yang
Maha Esa. Tetapi adakalanya seseorang akan bersumpah serapah tentang rasa itu
jika putus cinta atau dikecewakan oleh perasaannya sendiri yang awalnya begitu
menggelora,” aku jadi termenung dengan apa yang Difana katakan. Ya, semuanya
memang benar, apa yang dia katakan memang benar. Tapi aku masih bingung untuk
bertindak apa kedepannya.
“Saran gue, temui
mereka semua dalam satu tempat dan biarkan lo mengambil peran untuk menjelaskan
semuanya. Tinggallah lo yang memutuskan untuk tetap berada di sisi mereka, atau
lebih memilih menghilang dari hidup mereka.” Kata Difana yang memang aku tahu
dia lebih berpengalaman dalam dunia percintaan ABG, sama seperti aku dia telah
kehilangan sahabatnya juga karena cinta. Erika dan Difana putus persahabatan
hanya karena Difana menjadi orang yang disukai oleh kakak kelas yang diam—diam
Erika sukai juga.---Erika adalah teman dekat Difana di sekolah--- Masalah kami sama,
tentang cinta segitiga.
Kami meninggalkan taman kompleks saat adzan Maghrib berkumandang,
Difana mengantarku pulang dengan sepedanya. Aku seperti mendapat sebuah
pencerahan dari seorang Difana yang terkenal dengan julukan anak paling manja
di satu block kompleks ini. Anggapan miring itu sirnah, Difana bukan anak
manja, tetapi Difana adalah seorang remaja yang memiliki hati yang baik dan
punya kepribadian yang bijak.
~~~
Besoknya setelah diskusi bahasa Arab selesai aku mengumpulkan
mereka bertiga di taman kompleks yang kemarin digunakan Difana untuk
memberikanku suatu cara untuk menyelasaikan semuanya.
“Niska mau
menjelaskan banyak hal kepada kalian bertiga, harap jangan ada yang menyela apa
yang akan Niska jelaskan. Setuju ?,” mereka hanya mengangguk setuju.
“Masalah pertama,
Niska akan meluruskan sebuah masalah yang sebenarnya sudah terselesaikan, tapi
Kak Ahmad belum mengetahui ini. Masalah tentang kesalah pahaman Mae tentang kekaguman
Niska kepada Kak Imran yang di anggap mempunyai perasaan lebih, padahal tidak.
Niska hanya mengaggumi kecakapan Kak Imran dalam berbahasa Arab dan tidak
lebih.” Aku menghela napas, senada melihat perubahan air muka Kak Ahmad, kaget.
“Lalu masalah kedua,
alasan inilah yang membuat Mae masih menolak perasaan Kak Ahmad, karena Kak
Imran tidak bisa menerima perasaan Mae, akhirnya Mae patah hati, dan mencoba
membuka hati untuk Kak Ahmad. Namun, masalah yang ketiga adalah, saat Mae sudah
menerima perasaan Kak Ahmad. Kak Ahmad malah lebih memilih menyukai gadis lain,
Kak Imran dan Mae tahu siapa orang itu?” aku menggantung perkataanku sambil
bersusah payah menahan sesak dalam dada, membendung air mata agar tidak
mengalir. Rasanya sangat sakit kala itu, aku masih sangat mengingatnya. Kak
Imran dan Mae menggeleng pelan.
“Hhh, gadis itu
adalah Niska, orang yang ada di depan kalian saat ini, orang yang menjadi
sahabat paling jahat untuk Mae, Musuh dalam selimut bagi Mae. Orang ini yang
selalu membuat mimpi tentang cerita cinta pertama Mae harus selalu berakhir
menyakitkan dan kelam,” aku berbicara dengan berurai air mata, dengan nada
seperti orang yang sedang mempunyai sebuah luka yang teramat parah dan dalam.
“Niska !!! berhenti
menjelaskan berita yang sampai kapan pun akan Mae anggap bohong itu, apapun
yang terjadi Niska tetap sahabat Mae, tetap sahabat.. sa-sahabat mereka,” nada
Mae berbicara sangat kecewa tapi dia tetap berpura tegar bisa menerima
kesalahan yang tidak pernah aku lakukan dengan sengaja. Aku tahu Mae sangat
terluka saat itu, lebih terluka dari pada aku. Kak Imran dan Kak Ahmad bungkam
seribu bahasa mereka terduduk lesu di tengah hamparan rumput teki taman yang
tergunting rapih.
“Dan, mulai besok
dan seterusnya Niska bukan anggota dari Remaja Masjid dan bukan lagi bagian
dari Majelis Ilmu. Niska sudah memberitahukan kepada Kak Anang. Niska pamit,
kalau kita nggak bisa bertemu lagi, kalian harus berjanji jaga diri kalian
masing-masing. Carilah sahabat baru. Ambillah hikmah dari masalah ini,
Assalamualaikum” mataku terpejam, dan berbalik arah meninggalkan mereka bertiga
yang masih membisu, namun tangis Mae terdengar makin pilu saat aku melangkah
makin menjauh. Tak ada yang bisa berkata, isak tangis milik Mae penutup dari
pertemuan kami saat itu. Setelahnya kami tak pernah bertemu lagi. Aku jadi
ingat tempo hari aku bertemu dengan Kak Anang saat membeli takjil untuk buka
puasa. Dia menceritakan, Kak Ahmad dan Kak Imran mereka juga keluar dari
Majelis ilmu seminggu setelah aku mengundurkan diri. Kak Imran yang memilih
mondok di pesantren Gontor, dan Kak Ahmad yang memilih mondok di Tebuireng. Dan
Mae yang saat ini menjadi guru bahasa arab TPA di Masjid, dia masih bertahan.
“Waktu itu Majelis
Ilmu banyak kehilangan orang-orang hebat Nis, kita kehilangan Miss wawasan,
yaitu kamu. Kehilangan penerjemah bahasa Arab kita, Imran dan kehilangan si
ceria, Ahmad. Remaja masjid jadi tak begitu berwarna lagi saat itu setelah
sepeninggalan kalian bertiga,” aku tersenyum miring saat mendengarnya tempo
hari. Benar-benar berakhir menyedihkan, aku menghela napas lagi masih berharap
semua masa laluku meluap bersama helaan napasku.
Perasaan cinta kapan saja bisa berubah-ubah. Dengan sangat cepat
bisa membuat orang sangat bahagia dan bisa dengan cepat juga membuat seseorang
menjadi menderita. Aku tersadar dari memori masa lalu, melihat jalan kompleks
yang sudah tidak ada lagi gerombolan remaja lelaki itu, teman-temanku dulu di
Majelis Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar