Kamis, 10 November 2016

CERPEN

Secuil Roti Tawar I




            Apa kamu tahu bagaimana rupa roti tawar ? aku rasa kehidupan cintaku sama dengan makanan yang satu itu. Jangan menganggapku aneh ya, tentu aku punya alasan tersediri untuk perumpamaan tersebut. Kehidupan cintaku awalnya polos seperti warna dominan di roti tawar original. Putih, tanpa ada noda sedikit pun. Entah bagaimana ceritanya aku mulai mearasakan gejolak detak jantung yang tak bekerja semestinya, saat pertama kali bertemu sepupu teman kecilku dulu, tapi aku belum sanggup mengingatnya lagi. Ya, memang Kak Faris bukan yang pertama membuat aku merasakan hal yang sama namun berbeda rasa ini. Dia yang membuat mimpi cinta sejati seakan hidup, seperti melihat pesona yang berbeda. Mungkin karna dia lebih dewasa dariku, sekitar 8 tahun, mungkin. Itu yang mebuatnya berbeda dari laki-laki yang masih sok dewasa yang berkeliaran di lingkunganku. Kekagumanku kepadanya kusimpan dalam diam, mungkin awalnya kusimpan rapat sendiri dari siapa pun, termasuk teman-temanku. Namun pada akhirnya teman-temanku tahu juga, hanya beberapa orang, tidak banyak, masih bisa terhitung dengan jari. Hanya beberapa teman yang sudah kujadikan sahabat atau sekedar teman dekat untuk saling bertukar pikiran. Rata-rata dari mereka tak pernah menyangkanya, aku benar-benar sedih saat mendengar komentar mereka, lebih banyak mengatakan ;
‘ kenapa dia? Umur kalian beda jauh, pasti beda urusan dan susah buat nyatu, pasti dia udah siap buat membina rumah tangga, dan kamu masih sekolah, belum siap untuk memikirkan hal-hal seperti itu’
Saat mengingatnya aku hanya bisa tersenyum getir. Tiba-tiba perasaan bimbang datang dan mulai meracuni isi otakku, untuk berhenti menyertakan nama Kak Faris di setiap doa sholat malamku. Ketakutanku terjawab sudah, pada akhirnya aku ragu untuk perasaan ini. Sebenarnya apa perasaan ini, hanya kagum atau semacam cinta. Aku tak mampu untuk menjawabnya sendiri, masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan hatiku. Hatiku mulai bimbang dan semakin ragu saat tak melihat respon yang luar biasa dari Kak Faris. Saat ritual yang mulai rutin aku lakukan, membuat cerpen yang berisikan kekagumanku kepadanya. Cerpen yang memiliki sejuta untaikan kata indah dan romantis untuk menunjukan rasa cintaku yang masih samar-samar. Saat aku melakukan hal gila, mengiriminya cerpen-cerpen itu melalui akun Email yang aku samarkan identitasnya. Aku menghela nafas, membuangnya dengan kasar, tidak pernah menyangka bermimpi akan cinta sejati ternyata sangatlah rumit. Kenapa aku harus bermimpi memiliki cinta sejati pada dirinya yang tak pernah mengenalku sebelumnya, kenapa aku harus jatuh cinta atau mendeskripsikan dengan cepat bahwa ini perasaan cinta. Cinta yang tumbuh tiba-tiba, dan seakan tumbuh dengan subur di dalam hatiku. Sungguh menggelikan! mungkin aku terlalu banyak menonton drama Korean, atau terlalu banyak membaca novel-novel fiksi yang mengatakan bahwa cinta sejati itu ada dan kamu boleh memimpikannya, boleh menanamnya pada siapa pun, dan boleh mengharapkan hal yang sudah di luar nalar itu. Tapi aku percaya adanya cinta, aku hanya tak yakin dengan perasaanku sendiri, apakah bisa hatiku menemukan cinta sejatinya kelak. Oh, entahlah... Let time answer.
Aku memijat keningku sendiri, berdenyut keras saat memikirkan tentang masalah hati dan berdebat dengan diri sendiri. Sungguh memalukan jika kau menjadi diriku, seperti mengemis cinta dengan modal cerpen-cerpen murahan yang belum menembus tabloid majalah mana pun, atau sekedar memasangnya di blog pribadiku yang sepi pembaca itu. Ingat diri, kau belum ada apa-apanya dibandingkan teman kerjanya mungkin, atau anak-anak kampus yang berhasil dia sukseskan langkahnya untuk masuk Universitas yang mereka idam-idamkan dari tempat kerjanya, tempat Bimbingan belajar. Ingat, aku hanya anak SMA ingusan yang bermimpi akan cinta sejati terjadi padaku dan Kak Faris. Bahkan umurku belum genap 17 tahun.
            “Kak, katanya mau les ? uangnya udah ada lama kok belum daftar-daftar juga?” kata Mama yang tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, meluapkan masalah yang aku pikirkan sendiri.
            “Ah, nggak jadi les aja Ma, tempatnya jauh banget dari sekolah sama rumah. Takut kecapean kalau rutin aku kejar jadwalnya. Lagi pula kalau aku mau di galaxy ini kan udah banyak tempat bimbel yang nggak kalah hebat dari pada tempat les itu,”
            “Kalau aku mau, aku masih sanggup buat belajar sendiri,” aku menambahkan penjelasanku, lalu menghela nafas setelahnya.
            “Loh, kenapa tiba-tiba berubah pikiran gitu, seinget Mama kamu yang kepingin banget buat masuk bimbel itu, sebenarnya kenapa?” kata Mama penuh selidik. Aku terdiam, membeku tak berani untuk mengatakan yang sejujurnya. Jika memang aku harus les di tempat bimbel itu, berarti aku harus juga mempersiapkan mental untuk bertemu lagi dengan Kak Faris, dan memberi tahunya kalau akulah pengirim cerpen-cerpen itu.
            “Niska..” panggil Mama, menuntut jawaban.
            “Sebenernya ada masalah lagi..” aku menggantung pernyataanku. Mama memang tahu tentang perasaan ku terhadap Kak Faris, tapi beliau tak mengetahui kalau Kak Faris bekerja di tempat bimbel itu.
            “Apa?” nadanya seperti menuntut penjelasan lebih lanjut.        
            “Nggak punya temen ngebimbel disana Ma,” Mama menghela nafas, aku tahu dia kecewa dengan jawabanku.
            “Terserah sama kakak ajalah, Mama udah ngarahin, udah nyediain uangnya, terserah sama kakak aja mau ngikut sama Mama atau punya pendapat sendiri. Kamu udah gede, udah tahu mana yang baik buat kamu. Mama mau ke pergi ya, kamu jangan bengong di sini aja. mandi sana loh, gadis kok mandi siang. Mama tinggal ya.” Aku hanya mengangguk membiarkannya pergi, tapi aku masih enggan untuk beranjak dari tempatku saat ini. Termangu disini sejak ba’da sholat subuh, melihat jalan komplek yang mulai ramai, lalu-lalang orang-orang yang terbiasa berolahraga pagi di setiap Weekand. Agaknya aku selalu menanti Alexandria muncul dengan pesona cahayanya yang mampu mengubah kabut menjadi bulir-bulir embun yang menyejukan kehidupan untuk hari ini. Aku jadi teringat status di salah satu akun chatting pribadinya.
Embun tak harus berwarna untuk membuat daun jatuh cinta’
Aku tak pernah tahu dia mendapatkan kata-kata indah itu dari mana. Tiba-tiba saja mata coklatku menagkap gerombolan remaja laki-laki, sebagian kecil di antara mereka aku mengenalnya, temanku dulu di Majelis ilmu remaja di Masjid Al-Fajr. Kurang lebih 4 tahun aku tak pernah bertemu dengan mereka, jangankan bertemu, melihat mereka pun rasanya jarang sekali. Apalagi untuk sekedar mengobrol panjang lebar atau berdiskusi bahasa arab seperti dulu di Majelis ilmu. Alasan formalnya ya karena ingin fokus untuk test masuk salah satu MTsN favorite di Jakarta Timur. Sebelum aku lolos test, aku benar-benar meninggalkan kegiatan rutin setiap soreku saat itu. Alasan lain mungkin karena masalah hati, tapi disini bukan aku yang merasakan cinta. Tapi sahabat-sahabat terbaikku di Majelis ilmu kegiatan rutin milik Remaja masjid Al-Fajr. Di Majelis ilmu ini yang perempuan hanya aku dan Maemunah, selebihnya adalah laki-laki. Sebenarnya simple untuk menjelaskan kenapa hanya aku dan Mae---aku biasa memanggilnya Mae--- anggota perempuannya. Saat remaja perempuan seusia kami mulai pergi ke salon dan nongkrong-nongkrong di tempat yang lagi ngehits di kalangan remaja, atau lebih memilih les bahasa  inggris yang mengeluarkan banyak uang untuk kegiatan itu semua. Dan aku lebih memilih kegiatan belajar bahasa Arab yang bermanfaat dan tidak mengeluarkan sepeser uang. Aku bangga dengan kegiatan setiap soreku itu, tak pernah malu dengan mereka yang punya kecengan yang bagus untuk di pamerkan. Selama kurang lebih 2 tahun aku mengikuti kegiatan memperdalam kemampuan untuk berbahasa Arab, mempunyai tiga orang sahabat yang solid, mereka ; Maemunah, Kak Ahmad, dan Kak Imran. Jam-jam soreku saat itu sangat menyenangkan, bertemu dengan mereka, berdebat dalam diskusi panas yang membahas bahasa Arab itu. Tersenyum saat mengingatnya. Jadi ingat juga saat aku mengaggumi kemampuan berbahasa Arab Kak Imran, dia yang paling cakap dari semua anggota. Maemunah kuceritakan tentang kekagumanku pada kemampuan Kak Imran, yang malah membuatnya salah paham, yang mengira aku menyukai Kak Imran lebih dari seorang sahabat. Tapi aku menangkap sinyal-sinyal kecewa dari wajah Maemunah, dia seperti menyukai Kak Imran. Hatiku mencelos saat mengingatnya, hal tersebutlah yang membuatku berpisah dengan mereka.
Esok sorenya, Kak Imran seperti salah meminum obat, dia mencoba membuatku tersipu malu, tapi gagal malah membuatku menatapnya aneh dan penuh tanda tanya, sedari saat itu aku baru saja masuk ke dalam Masjid dia terlihat sumringah sehabis mengobrol dengan Maemunah. Aku belum menyadari sesuatu saat itu, kalau ternyata Maemunah,  membocorkan ceritaku kemarin, dan kesalah pahaman ini membuat aku dan Mae menjauh, Mae selalu saja menghindar. Aku sangat paham kenapa dia begitu. Saat aku ingin menjelaskan dia selalu pergi menjauh, tak ada kesempatan untukku menjelaskan, meluruskan apa yang sebenarnya terjadi. Diskusi sore itu usai, lalu Kak Imran tiba-tiba saja mengahampiriku dan berbicara tentang hati, menyinggung tentang perasaanku kepadanya. Aku tak mempedulikannya, lebih baik diam. Setelah dia berhenti berbicara, aku mengakhirinya secara paksa dan pergi begitu saja. Mae meninggalkanku, biasanya aku akan pulang bersama, biarpun di tikungan simpang jalan yang menampakan gerbang batas komplek dengan perkampungan perumahan sederhana akan memisahkan kami. Entah mengapa aku sangat yakin jika Mae memberikan informasi salah paham itu. Aku hanya menghela napas gusar. Berharap masalah yang sedang aku lalui ikut terbuang bersama hembusan napas yang keluar dari hidungku.
Sudah dua minggu masalah ini berlarut, aku masih mencoba bersikap biasa saja, saat aku terus didekati oleh Kak Imran yang tidak pernah mendengar penjelasanku yang dia anggap sebagai hal yang biasa di lakukan perempuan jika ketahuan menyukai  laki-laki yang dia suka. Aku juga masih terus mendekati Mae yang makin hari makin menjauh saja dariku. Belum selesai dengan masalah itu, Kak Ahmad yang ku kira akan memberikan pencerahan tentang perang dingin yang diletuskan Mae dan bom-bom cinta yang selalu di tembakan ke arahku dari Kak Imran. Dia malah datang menambah masalah, dia mengatakan bahwa dia menyukai Mae, aku hanya bisa menepuk jidatku, menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal dan mengusap wajahku kasar. Kenapa persahabatan yang 2 tahun terjalin bisa runyam begini dalam hitungan hari karena C.I.N.T.A. kepalaku berdenyut saat itu, sesulit inikah mencintai dan dicintai, padahal aku belum merasakan apapun tentang cinta kala itu. Namun aku harus tertarik oleh pusaran kerumitan cinta ABG. Ya, yang harus aku akui saat itu aku juga masih ABG.
Setelah hari dimana Kak Ahmad hampir membuatku serangan jantung, tentang penginfoan perasaannya untuk Mae kepadaku, dan perasaan Mae yang belum diketahui oleh Kak Imran. Aku harus berbuat sesuatu, yang dimana harus dimulai dari Kak Imran, setelahnya Mae, lalu Kak Ahmad. Pikirku saat itu, aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Sore itu juga, saat Kak Imran menghampiriku, sebelum dia banyak cakap dan akan sulit untuk menghentikannya, aku berbicara terlebih dahulu. Memonopoli pembicaraan, tak membiarkan Kak Imran mengintrupsi penjelasanku sampai dia paham, bahwa ini kesalah pahaman, yang menyukai Kak Imran bukan aku, tapi Mae. Dia membeku, mengetahui jika Kak Ahmad menyukai Mae, dia tahu persis Kak Ahmad menyukai Mae. Yang lebih rumit lagi adalah Kak Imran dan Kak ahmad adalah saudara sepupu dekat. Mereka selalu berbagi apapun yang mereka miliki. Tapi mungkin tidak untuk satu hal ini, cinta. Menurutku cinta itu tidak bisa di bagi, jika kita mencintai satu orang maka hanya dia yang ada di hati, takkan ada istilah mendua, cukup dia satu. Tapi sayangnya pada saat itu aku belum merasakan getaran cinta. Hanya tersangkut di akar permasalahan cinta segitiga milik tiga orang sahabatku itu. Dan pada akhirya setelah aku menjelaskan apa sebenarnya yang aku maksud mengaggumi Kak Imran adalah memang benar jika aku hanya mengaggumi kecakapannya dalam berbahasa Arab, tidak lebih. Namun Kak Imran dengan datarnya mengatakan,
            “Ana nggak bisa menerima perasaan Mae Nis, awalnya berharap kalau memang benar anti  yang menyukai ana lebih dari pada mengaggumi kecakapan dalam berbahasa Arab,”
            “itu sudah masalah hati anta, ana hanya menyampaikan yang benar, meluruskan yang salah. Ana pamit, dan maaf jika ana tidak bisa membalasnya. Assalamua’laikum,” aku berlalu begitu saja, berharap masalahku dengan Kak imran selesai.
Setelah dimana hari itu, sikap Kak Imran sudah kembali biasa saja padaku. Memang aku merasakan  sikapnya yang sedikit menjauh, tapi tak masalah, harapanku sudah tercapai Kak Imran sudah tak salah sangka lagi. Masalahku tinggal dua, menyampaikan perasaan Kak Ahmad kepada Mae dan menjelaskan kebenaran kepada Mae setiap pulang aku terus saja mencoba mendekati Mae untuk menjelaskannya, dan akhirnya Mae memutuskannya, aku boleh menjelaskan sebenar-benarnya apa yang terjadi. Setelah masalah itu berakhir. Mae menimbulkan senyum di wajahnya, bahwa aku tak menaruh hati pada lelaki pujaannya. Namun senyum itu sirna saat aku berkata jujur tentang hal yang menyakitkan, tentang perasaan Kak Imran yang ternyata tak punya perasaan lebih kepada Mae. Mae menangis kala itu, kita teruduk di sebuah bangku di belakang masjid. Sungai kecil terus mengalir di pipi dari matanya yang sipit. Aku hanya menepuk-nepuk pundakknya dan membiarkannya menangis dalam pelukku. Aku merasa seperti penjahat cinta, menyakiti dua orang sekaligus dalam kurun waktu yang sangat singkat, menyakiti perasaan Kak Imran, lalu Mae. Aku seperti musuh dalam selimut, terutama untuk Mae. Setelah Mae tenang, aku mencoba menjelaskan padanya,
            “Nggak perlu sedih Mae, ana punya berita bagus loh... Kak Ahmad suka sama Mae. Jadi jangan putus asa gitu. Cobalah untuk membuka hati kepada orang-orang yang baru,” setelahnya Mae meneggakan duduknya, dia menatapku dengan tatapan tak percaya, namun detik berikutnya dia kembali lesu tak bersemangat. Aku heran dengan perubahan mimik wajahnya. Tak terbaca.
Dia hanya menggeleng, dan aku baru bisa menangkap maksud dari gelengan itu, dia belum bisa membuka hatinya untuk orang lain. Aku memakluminya, mungkin memang rumit dan sulit. Sore itu lembayung sore menggantung indah di langit sana, hari makin petang, sebentar lagi langit akan menggelap. Menjadi saksi bisu pembicaraan kami berdua, lalu kami memutuskan untuk pulang. Saat itu.
Esoknya aku tak pernah ada waktu untuk bertemu dengan mereka, aku selalu absen dari kegiatan Majelis ilmu itu, terpaksa mengikuti les tambahan dari sekolah. Seminggu, aku benar-benar absen, eksistensiku makin berkurang saja di Majelis ilmu. Aku melihat Mae, dia menghampiriku penuh semangat, dan langsung memelukku sesaat setelah aku muncul dihadapnya.
            “Dari mana aja sih kamu Nis, kangen tahu,” katanya sambil terus memelukku erat.
            “Maaf, sibuk nih, udah mulai belajar tambahan terus disekolah,” aku membalas peluknya
            “Iya, dikit lagi kita kan mau UN. Seharusnya aku juga mulai absen dulu nih.”
            “Nggak perlu, asal bisa bagi waktu Mae.”
            “Ya juga, berarti kamu nggak bisa bagi waktu dong ?,” aku hanya mampu menggidikan bahu belum tahu kedepannya seperti apa.
            “Yah, kamu mah gitu. Nggak jelas, ngegantung banget jawabannya,” aku hanya membalasnya dengan senyum seadanya.
            “Iyaudah, ada berita apa nih sama Mae? Kok kayaknya lagi berbunga-bunga banget auranya,” berusaha memancing supaya Mae mau buka suara.
            “Akhirnya aku udah bisa buka pintu hati buat Kak Ahmad,” tiba-tiba Mae memelukku lagi.
            “Ah, akhirnya. selamat ya yang udah berhasil bebas dari zona galaunya. Trus-trus gimana sekarang ?,” Mae tersipu dengan ucapku.
            “Ya, nggak gimana-gimana Nis... kamunya lama sih nggak hadir di sini. Jadinya aku belum melakukan apapun,”
            “Yah, yaudah mau aku sampaikan nggak masalah hatinya?,” aku mencoba menawarkan jasa kurir cinta, walau aku tahu itu salah.
            “Ya, kalo Niska nggak keberatan,” kata Mae malu-malu.
            “Oke deh, nanti sore Niska coba berbicara kepada Kak Ahmad,” aku menepuk-nepuk pundak Mae dan berlalu sendirian ke arah gerombolan empat remaja laki-laki yang sudah sibuk berdiskusi mengartikan Novel berbahasa Arab yang sudah tiga minggu ini kami artikan.
            “Nggak, bisa gitu. Ini nggak bisa diartikan per-kata mas bro. Ini harus per-kalimat, nantinya akan aneh kalau diartikan per-kata,” komentar Kak Anang, dia adalah ketua Remaja Masjid Majelis Ilmu milik kita ini, dan juga paling dewasa di banding kita semua. Dia sudah kelas 11 MA, sangat jauh denganku yang kala itu masih kelas 6 SD.
            “Aaa.. emang bener kata Mas Nanang. Ane setuju dah. Bakal ribet kalo urusannye ngartiin per-kata bang bro!,” sahut bang Dodo yang anak Betawi asli, seumuran dengan Kak Imran dan Kak Ahmad.
            “Tapi ilmu kita belum ada yang sampe kalo ngartiin per-kalimat,” bantah Kak Imran, dan aku hanya menguping dengan berdiri didepan pintu Masjid, memperhatikan mereka yang sedang larut dalam diskusi.
“Ya, harus dicobalah Imran, sesuatu hal yang udah lu nggak bisa trus nggak lu coba akan menjadi ketidakbisaan selamanya. Sesuatu yang lu nggak bisa dan lu coba akan menjadi sebuah bibit bakat baru dalam diri lu,” Kak Ahmad berbicara, semua orang terpaku mendengarnya, termasuk aku dan Maemunah yang ikut berdiri di sampingku entah sejak kapan.
            “Wow, Ahmad. ana nggak pernah tahu kalo antum punya bakat jadi motivator. And Masya Allah, ada Niska di sini. Yang udah 2 minggu nggak ada kabarnya,” Kata Kak Raka yang berkomentar tentang kata mutiara yang diberikan Kak Ahmad kepada Kak Imran yang biasanya hanya bisa memberi kami lelucon-lelucon sederhana dan juga menyadadarkan anggota lain tentang kehadiranku setelah absen 1 minggu.
            “1 minggu kali kak Raka. Lama banget 2 minggu.” Kataku sambil berjalan maju dan menghampiri keempat laki-laki bersarung, berkokoh dan berpeci itu. Kak Imran memasang muka datar yang susah untuk bisa ditebak, dia memang menjauh setelah hari aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Berbeda dengan Kak Ahmad yang tersenyum setelah melihat kedatanganku.
            “Kemana aja Nis, lama banget nggak curhat-curhat nih,” Kak Ahmad sumringah melihatku bergandeng tangan bersama Mae.
            “Niskanya kemarin sibuk Try Out. Banyak bimbingan dari wali kelasnya, maklum aja UN pertama nih, peraturannya juga baru, udah ada kode A, kode B nanti soal UNnya,” aku berpura memasang muka sedih dan memeluk Mae, saat Mae menjelaskan kepada keempat remaja laki-laki di depan kami ini,
            “Kenapa harus di kita percobaannya, ini akan menjadi sebuah ketakutan yang luar biasa mengerikan,” Aku menutup mukaku, sebenarnya ini adalah suatu drama yang sedang aku dan Mae mainkan. Aku menghindari kemarahan Kak Anang yang sudah pasti marah jika salah satu anggotanya absen tanpa izin dan tak hadir begitu lama dalam pertemuan itu.
            “Ya, ya. Kak Anang maafin Niska deh. Memaklumkan karena sebuah situasi yang jatuhnya lebih penting persiapan UN daripada pertemuan diskusi ini,” Kak Anang berkata bijak, mengerti kemana arah pembicaraan ini. Kami semua sudah terbiasa dengan sikapnya yang satu ini. Bijak.
Akhirnya kita melanjutkan apa yang seharusnya kita lanjutkan. Berdiskusi.
~~~~
Petang mencoba menghampiri kala itu, jarum jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Aku masih terduduk di serambi Masjid, menyibukkan diri dengan sebuah buku kumpulan soal-soal UN 2010. Mencoba menunggu Kak Ahmad yang masih bungkam tentang perasaan Mae yang beberapa menit lalu aku sampaikan padanya. Dia pun masih menyibukkan diri dengan menyapu serambi Masjid, hari itu adalah gilirannya tugas piket serambi Masjid.
            “Semuanya sudah terlambat, kakak berpikir buat apa menyukai seseorang yang tidak bisa membalas apa yang kakak rasakan padanya. Buat apa kakak mengejar sebuah harapan hampa, padahal disampingnya ada harapan yang nyata, sudah sangat jelas semuanya.” Aku hanya melihatnya sekilas lalu mengangguk-anggukan kepala. Setuju dengan apa yang ia katakan, tapi pikiranku masih terfokus pada salah satu soal yang membuat kepalaku berdenyut. Aku menghela napas, bersabar lalu menutup buku tebal itu.
            “Sayang banget ya kak, emangnya siapa yang ngebuat kakak ngubah haluan gitu ?,” aku bertanya, mencoba mengetahui siapa gadis itu, yang menggantikan sosok Mae, dia memangnya sehebat apa bisa membuat Kak Ahmad berubah pikiran dan melupakan perasaannya kepada Mae. Kak Ahmad diam. Masih diam.
            “Berarti nggak ada kesempatan kedua bagi Mae dong Kak ?,” Kak Ahmad mengangguk pelan, lalu mengambil napas dan tersenyum.
            “Perasaan itu gampang banget berubah-ubah ya Nis, bisa aja di hari kemarin kakak menyukai Mae tapi pada hari selanjutnya kakak menyukai sahabatnya, pada gadis yang ada didepan mata kakak saat ini,” hatiku mencelos saat mendengar apa yang dikatakan Kak Ahmad, mataku terasa panas, siap untuk mengalirkan sungai kecil lalu menatap langit seperti seorang pesakitan. Ternyata aku yang akan menajadi musuh dalam selimut bagi Mae. Aku, aku yang tidak sengaja membuat semua cerita cintanya pupus begitu saja, cintanya yang harus bertepuk sebelah tangan. Cintanya seperti daun pohon maple di musim gugur.
            “Maaf Niska harus pergi sekarang, Assalamualaikum.” Aku berlalu begitu saja, dengan berlinang air mata. Aku harus menjauh dari mereka semua, harus. Aku akan memikirkan bagaimana caranya.
Saat dijalan pulang Difana, teman kompleksku menghampiriku dengan penuh rasa penasaran, melihatku yang tak baik-baik saja. Masih terduduk di bangku taman kompleks yang sudah semakin sepi karena waktu Maghrib hampir tiba.
            “Hey Zah, what are doing in here. And why are you crying, please tell me what’s the problem?”---Difana memanggilku Zahra--- katanya menggunakan bahasa inggris, dia adalah salah satu temanku yang les bahasa inggris. Tanpa berpikir panjang aku memeluknya menceritakan semua yang terjadi begitu cepat, hanya karena perasaan norak yang merusak segalanya. Cinta.
            “Gue harus ngelakuin apa Dif, kepala gue sakit banget buat mikirinnya, gue nggak ngerasain apa sih itu perasaan norak, yang merusak segalanya dengan cepat. Semacam virus yang mematikan.”
            “Bukan rasanya yang salah Zahra, tapi orang-orangnya yang belum bisa mengerti apa yang mereka mau, apa yang mereka rasakan. Dan tidak bisa bersikap seperti biasa saja, mereka tidak menyadari kehancuran yang akan menghampiri mereka. Adakalanya rasa cinta akan membuat seseorang sangat bahagia dan bersyukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Tetapi adakalanya seseorang akan bersumpah serapah tentang rasa itu jika putus cinta atau dikecewakan oleh perasaannya sendiri yang awalnya begitu menggelora,” aku jadi termenung dengan apa yang Difana katakan. Ya, semuanya memang benar, apa yang dia katakan memang benar. Tapi aku masih bingung untuk bertindak apa kedepannya.
            “Saran gue, temui mereka semua dalam satu tempat dan biarkan lo mengambil peran untuk menjelaskan semuanya. Tinggallah lo yang memutuskan untuk tetap berada di sisi mereka, atau lebih memilih menghilang dari hidup mereka.” Kata Difana yang memang aku tahu dia lebih berpengalaman dalam dunia percintaan ABG, sama seperti aku dia telah kehilangan sahabatnya juga karena cinta. Erika dan Difana putus persahabatan hanya karena Difana menjadi orang yang disukai oleh kakak kelas yang diam—diam Erika sukai juga.---Erika adalah teman dekat Difana di sekolah--- Masalah kami sama, tentang cinta segitiga.
Kami meninggalkan taman kompleks saat adzan Maghrib berkumandang, Difana mengantarku pulang dengan sepedanya. Aku seperti mendapat sebuah pencerahan dari seorang Difana yang terkenal dengan julukan anak paling manja di satu block kompleks ini. Anggapan miring itu sirnah, Difana bukan anak manja, tetapi Difana adalah seorang remaja yang memiliki hati yang baik dan punya kepribadian yang bijak.
~~~
Besoknya setelah diskusi bahasa Arab selesai aku mengumpulkan mereka bertiga di taman kompleks yang kemarin digunakan Difana untuk memberikanku suatu cara untuk menyelasaikan semuanya.
            “Niska mau menjelaskan banyak hal kepada kalian bertiga, harap jangan ada yang menyela apa yang akan Niska jelaskan. Setuju ?,” mereka hanya mengangguk setuju.
            “Masalah pertama, Niska akan meluruskan sebuah masalah yang sebenarnya sudah terselesaikan, tapi Kak Ahmad belum mengetahui ini. Masalah tentang kesalah pahaman Mae tentang kekaguman Niska kepada Kak Imran yang di anggap mempunyai perasaan lebih, padahal tidak. Niska hanya mengaggumi kecakapan Kak Imran dalam berbahasa Arab dan tidak lebih.” Aku menghela napas, senada melihat perubahan air muka Kak Ahmad, kaget.
            “Lalu masalah kedua, alasan inilah yang membuat Mae masih menolak perasaan Kak Ahmad, karena Kak Imran tidak bisa menerima perasaan Mae, akhirnya Mae patah hati, dan mencoba membuka hati untuk Kak Ahmad. Namun, masalah yang ketiga adalah, saat Mae sudah menerima perasaan Kak Ahmad. Kak Ahmad malah lebih memilih menyukai gadis lain, Kak Imran dan Mae tahu siapa orang itu?” aku menggantung perkataanku sambil bersusah payah menahan sesak dalam dada, membendung air mata agar tidak mengalir. Rasanya sangat sakit kala itu, aku masih sangat mengingatnya. Kak Imran dan Mae menggeleng pelan.
            “Hhh, gadis itu adalah Niska, orang yang ada di depan kalian saat ini, orang yang menjadi sahabat paling jahat untuk Mae, Musuh dalam selimut bagi Mae. Orang ini yang selalu membuat mimpi tentang cerita cinta pertama Mae harus selalu berakhir menyakitkan dan kelam,” aku berbicara dengan berurai air mata, dengan nada seperti orang yang sedang mempunyai sebuah luka yang teramat parah dan dalam.
            “Niska !!! berhenti menjelaskan berita yang sampai kapan pun akan Mae anggap bohong itu, apapun yang terjadi Niska tetap sahabat Mae, tetap sahabat.. sa-sahabat mereka,” nada Mae berbicara sangat kecewa tapi dia tetap berpura tegar bisa menerima kesalahan yang tidak pernah aku lakukan dengan sengaja. Aku tahu Mae sangat terluka saat itu, lebih terluka dari pada aku. Kak Imran dan Kak Ahmad bungkam seribu bahasa mereka terduduk lesu di tengah hamparan rumput teki taman yang tergunting rapih.
            “Dan, mulai besok dan seterusnya Niska bukan anggota dari Remaja Masjid dan bukan lagi bagian dari Majelis Ilmu. Niska sudah memberitahukan kepada Kak Anang. Niska pamit, kalau kita nggak bisa bertemu lagi, kalian harus berjanji jaga diri kalian masing-masing. Carilah sahabat baru. Ambillah hikmah dari masalah ini, Assalamualaikum” mataku terpejam, dan berbalik arah meninggalkan mereka bertiga yang masih membisu, namun tangis Mae terdengar makin pilu saat aku melangkah makin menjauh. Tak ada yang bisa berkata, isak tangis milik Mae penutup dari pertemuan kami saat itu. Setelahnya kami tak pernah bertemu lagi. Aku jadi ingat tempo hari aku bertemu dengan Kak Anang saat membeli takjil untuk buka puasa. Dia menceritakan, Kak Ahmad dan Kak Imran mereka juga keluar dari Majelis ilmu seminggu setelah aku mengundurkan diri. Kak Imran yang memilih mondok di pesantren Gontor, dan Kak Ahmad yang memilih mondok di Tebuireng. Dan Mae yang saat ini menjadi guru bahasa arab TPA di Masjid, dia masih bertahan.
            “Waktu itu Majelis Ilmu banyak kehilangan orang-orang hebat Nis, kita kehilangan Miss wawasan, yaitu kamu. Kehilangan penerjemah bahasa Arab kita, Imran dan kehilangan si ceria, Ahmad. Remaja masjid jadi tak begitu berwarna lagi saat itu setelah sepeninggalan kalian bertiga,” aku tersenyum miring saat mendengarnya tempo hari. Benar-benar berakhir menyedihkan, aku menghela napas lagi masih berharap semua masa laluku meluap bersama helaan napasku.

Perasaan cinta kapan saja bisa berubah-ubah. Dengan sangat cepat bisa membuat orang sangat bahagia dan bisa dengan cepat juga membuat seseorang menjadi menderita. Aku tersadar dari memori masa lalu, melihat jalan kompleks yang sudah tidak ada lagi gerombolan remaja lelaki itu, teman-temanku dulu di Majelis Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar